Minggu, 01 Maret 2009

Teori batas Muhammad Syahrur

TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR
Oleh Rahmawati
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekitar tahun 1990-an dunia arab direbutkkan dengan penerbitan sebuah buku yang luar biasa (extra orjinary) yakni Al-kitab wa Al-Qur’an :Qira’ah Muashirah (Al-kitab dan Al-Qur’an : bacaan kontenporer) karya seorang intelektual muslim kontemporer berkebangsaan Arab-Syiriah, Muhammad Syahrur. Buku yang sangat kritis terhadap kondisi sosial politik di negara-negara Arab kontemporer ini menantang suatu milenium tradisi Islam dalam waktu yang relatif singkat, hanya satu setengah tahun buku ini mengalami empat kali cetak. Dan meskipun undang-undang pelarangan terbit dan peredarannya telah ditetapkan negara Syiria puluhan ribu copy lebih telah diperbanyak sendiri baik dalam bentuk bajakan, fax, ataupun persi copy serta beredar singga di Lebanon, Jordan, Mesir, bahkan diluar Arab[1].
Respon terhadap buku ini cukup beragam, dalam arti terjadi pro dan kontra terhadap ide-ide dan gagasan-gagasan yang terdapat di dalamnya. Penulisnya sendiri pernah dituduh sebagai agen barat dan sionis. Maraknya tanggapan dan isi buku bandingan yang telah terpublikasikan di atas menunjukkan bahwa karya Syahrur tersebut cukup dipandang kontroversial sehingga mengundang perdebatan publik terlepas dari setuju atau tidaknya penulis berkepentingan untuk menganalisa pemikiran kontenporer tentang teori batas kusunya yang tertuang dalam buku Al-kitab wa Al-Qur’an (Qira’ah Muashirah) (Al-kitab dan Al-Qur’an : bacaan kontenporer)[2]. Disamping itu sebuah kenyataan bahwa karya Syahrur ini cukup menarik untuk dikaji karena banyak menyinggung dan mendekonstruksi tema-tema Fiqhi seperti poligami, waris, zakat, wanita dalam Al-Qur’an dan dalam karyanya ini Syahur mengusik banyak ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian mengenali buku Syahrur dalam kontes wacana pemikiran keislaman kontemporer adalah hal yang penting.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka masalah pokok yang dikaji dalam makalah ini adalah “bagaimana teori batas yang dikemukakan Muhammad Syahrur”? dengan sub masalah sebagai berikut:
Siapa Muhammad Syahrur?
Bagaimana pemikiran teori batas Muhammad Syahrur?

II. PEMBAHASAN
Riwayat Hidup
Syahrur dilahirkan di Syiria yang penduduknya mayoritas muslim seperti umumnya yang alami negara-negara timur tengah. Dimana pernah mengalami problem moderenitas khususnya benturan keagamaan dengan gerakan moderenisasi barat. Problema ini muncul karena disamping syiria pernah diinvasi oleh prancis, juga dampak dari gerakan moderenisasi turki, di syiria pernah menjadi region dari dinasti usmaniyah (di Turki). Problema ini memunculkan tokoh-tokoh misalnya jamal al-din, al-Qasimy (1866-1914).
Muhammad Syahrur, seorang cendikiawan Mesir-Syiria, menawarkan berbagai teori inovatif dan revolusioner dalam hukum Islam. Beliau mengawali pendidikannya pada sekolah dasar dan menengah di al-Midan di pinggiran kota BG sebelah selatan Damaskus. Pada tahun 1957 belajar Tehnik Sipil di Saratow, dekat Moskow hingga tahun 1964. Sepuluh tahun kemudian dia dikirim ke Dublin untuk belajar di University College untuk memperoleh gelar MA dan Ph.D di bidang mekanika tanah dan tehnik pondasi hingga tahun 1972. Kemudian diangkat sebagai Professor Jurusan Tehnik Sipil di Univesitas Damaskus (1972-1999)[3]. Karyanya, disamping buku-buku yang terkait dengan Tehnik Bangunan ada juga al-Kitab wa al- Qur’an: Qira’ah Mu’asirah (1992) ; Dirasat Islamiyah Muasirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama’ (Studi Islam kontemporer tentang Negara dan Masyarakat), al-Islam wa al-Imam: Manzumat al-Qiyam (Islam dan Iman dan :pilar-pilar Utama)[4].
Karyanya al-Kitab wa al- Qur’an: Qira’ah Mu’asirah memuat sejumlah ide paling kontroversial di Timur Tengah sekarang ini (2000). Sebuah karya serius yang dalam penelitiannya memakan waktu kurang lebih 20 tahun. Buku ini merupakan studi konprehensip atas kitab suci al-qur’an yang dijadikan pegangan sekaligus sumber primer umat Islam dalam memahami agamanya, juga menggali hukum dan nilai-nilainya. Pemikiran Muhammad Syahrur tentang prinsip dan dasar hukum Islam, yang merupakan hasil dari pemahamannya terhadap apa yang disebutnya dengan ayat-ayat muhkamat, konsep Sunnah Nabi, Ijma dan Qiyas. Syahrur memaparkan keempat konsep tersebut dengan pemahaman yang baru.
B. Teori Batas Muhammad Syahrur
Teori batas Muhammad Syahrur dapat digambarkan sebagai berikut; perintah Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah mengatur ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al-had al-adna) dan batas tertinggi (al-had-al-a’la) bagi perbuatan manusia. Batas terendah mewakili ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batas tertinggi mewakili batas maksimunnya. Tidak ada suatu bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batas-batas ini dijadikan panduan, kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan ukuran kesalahan yang dilakukan[5]. Artinya ketika batas-batas dilampaui maka hukuman harus dijatuhkan menurut proporsi pelanggaran yang terjadi. Jadi manusia dapat melakukan gerak dinamis di dalam batas-batas yang telah ditentukan.
Syahrur membedakan enam bentuk batasan-batasan :
1. Batas minimal[6] ( ketentuan hukum yang hanya memiliki batas bawah). Contoh larangan mengawini perempuan yang disebutkan dalam QS. Al-Nisa : 22-23. Dalam dua ayat, Allah telah menetapkan batas minimal dalam pengharaman perempuan–perempuan untuk dinikahi yang terdiri dari keluarga terdekat. Tak seorangpun boleh melanggar batasan ini dalam meski didasarkan pada ijtihad. Ijtihad hanya diperbolehkan pada usaha memperluas pihak yang diharamkan. Sebagai contoh, jika ilmu kedokteran sudah mampu membuktikan bahwa pernikahan dengan kerabat dekat, seperti anak perempuan saudara bapak atau ibu, akan memberikan pengaruh negatif pada keturunan dan juga proses pembagian harta warisan, maka ijtihad dibolehkan dalam bentuk penerapan peraturan yang melarang pernikahan dengan keluarga dekat tersebut. Pada saat yang sama, ijtihad semacam ini masih dalam koridor batasan hukumnya, atau tidak melanggar batasan hukum minimal yang telah ditetapkan Allah swt. Namun sebelum hasil ijtihad diterapkan kepada masyarakat, pihak mujtahid harus memiliki data bukti yang valid, seperti hasil analisis laboratorium kedokteran dan hasil survai terhadap sejumlah keluarga, yang mendukung ketetapan itu. Dengan demikian akan didapati, syari’at Islam sebagai syari’at yang selalu memiliki batasan-batasan, bersifat lentur, dan cenderung berubah. Namun perubahan tersebut masih berada dalam batasan hukum Allah[7].
2. Batas Maksimal (ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas).
Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam QS. Al-Maidah: 38 “ pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangan- tangan mereka”. Disini hukuman yang ditentukan mewakili batasan maksimun yang tidak boleh dilampaui. Dalam kasus ini, hukumnan bisa dikurangi, berdasarkan kondisi objektif yang berlaku dalam setia masyarakat tertentu. Tanggungjawab para mujtahid untuk menentukan pencuri yang bertipe apa yang perlu dipotong tangannya, dan tipe apa yang tidak. Tapi bagaimana dengan pencuri yang bertipe kelas atas yang dapat mengakibatkan kondisi genting, seperti data-data rahasia melalui spionase atau pencurian penggelapan uang perusahaan nasional? Dalam kasus ini, dimana keamanan Ekonomi Nasional dipertaruhkan, (Q.S.al-Maidah (5):38) tidak memakai istilah tersebut.Sebagai gantinya, (Q.S. al-Maidah :33) harus dipakai:
“ Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya, dan membuat kerusakan dimuka bumi, hendaklah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangannya dan kaki mereka dengan timbal balik atau dibuang dari negeri (tempat ia Tinggal).
Demi keadilan masyarakat, para mujetahid harus menentukan hukuman yang setarap dengan kesalahan yang dilakukan[8].
3.Batas minimal dan maksimal bersamaan
Gambaran dari tipe ini ditemukan dalam QS. Al-Nisa (4):11 yang berhubungan dengan warisan. Tujuan dari ayat ini menyatakan bahwa bagian laki-laaki sebanding dengan dua perempuan, dan jika terdapat lebih dari dua anak perempuan maka bagian mereka adalah2/3 dari harta warisan.Dan jika hanya terdapat satu anak perempuan maka bagian mereka andalah setengah”. Syahrur berargumen sebuah penetapan batasan maksimun untuk anak laki-lakidan batasan minimum untuk anak perempuan. Terlepas darinapakah wanita mencari nafkah, Bagaimanapun bagian wanita tidakpernah dapat kurang dari33, 3 %, sementara bagianlaki-laki tidak pernah mencapai lebih 66,6% dari harta warisan. Jika wanita diberi 40% dan laki-laki diberi 60%, pembagian itu tidak dikategorikan melanggar terhadap batas minimum dan maksimum. Alokasi persentase bagi masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi objektif yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Contoh ini menurut Syahrur, menjelaskan kebebasan bergerak (Hanifiyah) dalam batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum.Batasan-batasan itu ditentukan oleh masing-masing masyarakat sesuai dengan kebutuhan. Hukum tidak harus diperlakukan sebagai pemberlakuan secara literal teks-teks yang telah diturunkan berabad-abad lalu pada dunia modern.Jika aflikasi literal semacam ini diterima, dapat dipastikan Islam akan kehilangan karakter keluwesan dan pleksibilitasnya[9].
4. Batas Minimal dan maksimal bersamaan pada satu titik atau posisi lurus atau posisi penetapan hukum partikular (ainiyah). Ini berarti tidak ada alternatif hukum lain, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari yang telah ditentukan.
Posisi batas ini hanya berlaku dalam kasus zina saja, yaitu batas hukum maksimal yang sekaligus posisi sebagai batas minimal berupa seratus kali cambukan sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nur: 2. Dalam ayat ini Allah memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa dalam kasus zina, hukum yang yang diterapkan adalah berupa batasan hukum maksimal sekaligus minimal, yaitu dalam redaksi
È÷ ̍ÅzFy$#tÏQöqu‹ø9$#ur «!$$Î/ bqãZÏB÷sè? LäêZä. bÎ) «!$#ûïÏŠ’Îû (( ×psùù&u‘ $yJÍkÍ5/ä.õ‹è{ù's? Ÿwur ÇËÈ
Artinya: janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Dalam redaksi tersebut, secara jelas terdapat peringatan agar tidak memperingan hukuman. Karena hukuman tersebut juga berposisi sebagai batas minimal. Di sini, batasan maksimum maupun minimum berpadu pada satu bentuk hukuman yakni berupa seratus deraan. Tuhan menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang seharusnya ditimpahkan. Hukuman bagi pezina adalah tidak boleh kurang atau lebih dari seratus deraan[10].
5. Batas Maksimum dengan satu titik mendekati Garis lurus tanpa persentuhan. Artinya ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah, tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan Tuhan.
Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berbeda jenis, bermula dari batasannya yang paling rendah, berupa tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut sebagai zina. Ketika seseorang berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus pada zina, tetapi ia belum melakukan hubungan kelamin maka ia belum terjerumus pada batas maksimal hubungan fisik yang ditetapkan Allah atau dalam kondisi tersebut si pelaku belum dijatuhi hukuman zina. Tindakan zina merupakan bagian dari batasan hukum Allah yang seseorang tidak diperbolehkan berhenti padanya, atau menyentuh wilayahnya meskipun ia berada dekat pada wilayah zina. Pada batasan hukum perempuan yang dilarang nikahi, seseorang dapat tepat berhenti pada batas tersebut demikian juga dalam batas hukum pembunuhan. Tetapi, dalam batasan hukum zina, seseorang tidak dapat berhenti padanya, karena berhenti pada batas zina berarti melakukan tindakan zina. Secara teoritis, batas hukum zina yang merupakan salah satu batas hukum Allah ini berada dalam garis lurus yang seseorang akan sampai pada titik puncaknya jika ia semakin mendekatinya. Teori ini sangat sesuai dengan realitas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Oeh karenanya, sangsi hukuman bagi pelaku zina disimbolkan dengan garis lurus, yaitu pada posisi batas maksimal sekaligus batas minimal.
6. Batas Maksimun “positif” tidak boleh dilewati dan Batas bawah “negatif” boleh dilewati[11]. Yakni ketentuan hukum yang memiliki batas atasnya positif (+) dan tidak boleh dilampaui sedang batas bawahnya bernilai negatif (-) boleh dilampaui.
Dalam kajiannya tentang batas ini, syahrur memperkenalkan kajian bunga secara baik dan terperinci. Dengan mengutip lebih dari selusin ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah riba, Syahrur menjelaskan bahwa arti riba dalam bahasa Arab adalah pertumbuhan dan perkembangan dari kekayaan.Syahrur berpendapat bahwa larangan atas bunga adalah bukan ketentuan dalam Islam. Dalam mendukung pendapatnya ia menyebut bahwa umar bin khattab dilaporkan menginginkan Nabi agar menjelaskan secara eksplisit syarat-syarat status hukum bunga. Kesemua ini tentu dimaksudkan membuka jalan untuk argumen bahwa aktifitas-aktifitasekonomi yang melibatkan bunga harus dipertimbangkan berdasarkan hukum dalam Islam. Berdasarkan (QS Attaubah ayat 60, zakat adalah hanya untuk mereka yang miskin dan yang membutuhkan), Syahrur menafsirkan bahwa orang miskin dan orang yang membutuhkan dalam masyarakat modern adalah mereka yang tdak mampu membayar utang. Secara tepat untuk bagian oarang miskin QS Al-Baqarah: 276 telah menyatakan bahwa: Allah memusanakan riba dan menyuburkan sedeka oleh karena itu, masyarakat harus membantu orang miskin dan orang yang membutuhkan tannpa mengharapkan suatu balasan. Dalam diagram persamaan fungsi matematika prinsip ini digambarkan tepat berada pada titik tengah antara batas atas positif dan batas bawah negatif. Landasan qur’ani dari kebijakan finansial adalah QS. Al-Baqarah ayat: 280 yang menyatakan bahwa dan jika orang berhutang itu dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan.
Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang bersisi pesan hukum) dalam al-Qur’an. Terma limit (hudûd) yang digunakan Syahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.”
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fikih kontemporer adalah teori limit (nadzariyyat al-hudûd) yang diusung tokoh Islam liberal asal Syiria, Muhammad Syahrur. Menurut Wael B. Hallaq, teori limit Syahrur telah mengatasi kebuntuan epistemologi yang menimpa karya-karya pemikir sebelumnya. Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang bersisi pesan hukum) dalam al-Qur’an. Terma limit (hudûd) yang digunakan Syahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis”.
Paling tidak, teori limit memberikan empat konstribusi signifikan dalam pengayaan bidang fikih. Pertama, nampak bahwa dalam teori limit Syahrur, hukum Allah berada pada posisi yang elastis selama berada pada batas-batas yang ditentukan batas minimum (al-hadd al-adnâ) dan batas maksimum (al-hadd al-a`lâ). Posisinya seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudûd-Allâh (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contohnya: ketentuan potong tangan bagi pencuri (Q.S. al-Mâ’idah: 38).
Menurut Syahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a`lâ) bagi seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan (Q.S. al-Mâ’idah: 34). Dari sini Syahrur berkesimpulan, seorang hakim dapat melakukan ijtihad dengan memperhatikan kondisi objektif si pencuri. Sang hakim tidak perlu serta merta harus memberi sanksi potong tangan dengan dalih menegakkan syariat, tapi dapat berijtihad di antara batasan maksimum dan minimum tadi, misalnya dengan sanksi penjara. Kalau kasus yang dihadapi adalah pejabat yang korupsi, sanksi dipecat dari jabatannya juga masih berada dalam dua batasan tadi. Syahrur beralasan, esensi sebuah sanksi hukum adalah membuat jera (kapok) si pelanggar hukum. Oleh sebab itu, negara atau pemerintahan yang tidak atau belum menerapkan sanksi potong tangan, rajam, qisas, dan beberapa sanksi hukum yang tertera di dalam Alquran maupun hadis, tidak bisa diklaim sebagai negara atau pemerintahan yang kafir sebagaimana tuduhan kalangan fundamentalis.
Dalam kasus pakaian perempuan (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini, perempuan yang tidak memakai jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini sedang ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih berada pada wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi. Sebaliknya, perempuan yang menutup sekujur tubuhnya (termasuk wajah, dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd-Allâh (batasan-batasan Allah), karena melebihi batas maksimum yang ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar dan menutup sekujur tubuhnya dengan pendekatan ini malah sudah “tidak islami”.
Kedua, dengan teori hudud, Syahrur telah berhasil melakukan pergeseran paradigma yang sangat fundamental di bidang fikih. Selama ini, pengertian hudûd dipahami para ahli fikih sebagai ayat-ayat dan hadis-hadis yang berisi sanksi hukum (al-`uqûbât) yang tidak boleh ditambah atau dikurangi dari ketentuannya yang termaktub, seperti sanksi potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku zina belum berkeluarga, dan lain sebagainya. Berbeda dengan itu, teori limit (nadzariyyat al-hudûd) yang ditawarkan Syahrur cenderung bersifat dinamis-kontekstual, dan tidak hanya menyangkut masalah sanksi hukum (al-`uqûbât). Teori limit Syahrur juga menyangkut aturan-aturan hukum lainnya, seperti soal libâsul mar’ah (pakaian perempuan), ta`addud al-zawj (poligami), pembagian warisan, soal riba, dan lain sebagainya.
Ketiga, dengan teori hududnya, Syahrur telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudûd yang selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamât yang bersifat pasti dan hanya mengandung penafsiran tunggal. Bagi Syahrur, ayat-ayat muhkamât juga dapat dipahami secara dinamis dan memiliki alternatif penafsiran, sebab al-Quran diturunkan untuk merespon persoalan manusia dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat al-Quran tidak saja dapat dipahami, bahkan bagi Syahrur dapat dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun. Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamât secara produktif dan prospektif (qirâ’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qirâ’ah mutakarrirah).
Keempat, dengan teori hudud, ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu dalam pandangan Syahrur. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqâmah) serta gerak dinamis dan lentur (hanîfiiyah). Sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia. Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam (tasyrî’), sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus.
III. PENUTUP
KESIMPULAN
1. Syahrur dilahirkan di Syiria, seorang cendikiawan Mesir-Syiria, menawarkan berbagai teori inovatif dan revolusioner dalam hukum Islam. Beliau mengawali pendidikannya pada sekolah dasar dan menengah di al-Midan di pinggiran kota BG sebelah selatan Damaskus. Pada tahun 1957 belajar Tehnik Sipil di Saratow, dekat Moskow hingga tahun 1964. Sepuluh tahun kemudian dia dikirim ke Dublin untuk belajar di University College untuk memperoleh gelar MA dan Ph.D di bidang mekanika tanah dan tehnik pondasi hingga tahun 1972 dan diangkat sebagai Professor Jurusan Tehnik Sipil di Univesitas Damaskus pada tahun 1972-1999.
2. Teori batas Muhammad Syahrur mengemukakan bahwa Islam bersifat lurus dan pasti berada dala batas-batas hukum dan pilar-pilar moral. Pada sisi lain Islam bersifat luntur dengan memberikan ruang gerak ijtihad di antara batasan-batasan hukum Allah. Dalam ketentuan batas-batas hukum Islam bersifat tetap dan pasti istiqamah tetapi dalam gerak ijtihad di antara batas-batas hukum tersebut Islam bersifat lentur dan dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, Peter, The Shahrur phenomenon: A. Liberal Islamic Voice from Syiria” Dalam Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.7. No 3, 1996.
Munjid, Mahir al, Al-Ishkaliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitab wa al-qur’an: Dirasah Naqdiyyah, dalam Alam al-fikr, t.tp., t.p, t.t
Kurzman, Charles, Wacana islam liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang Isu-isu Glbal, (Jakarta: Paramadina, 2001.
Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, Damaskus: al-Ahalliy li at-Tiba’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi, 1992.
Wael B. Hallaq, Prinsip dan Dasar Hermeuetika Hukum Islam Kontemporer, terjemahan Al-Kitab wa al-Qur’an Qiraâh al Muashirah, Yokyakarta: elSAQ press, 2007),




[1] Peter Clark, The Shahrur phenomenon: A. Liberal Islamic Voice from Syiria” Dalam Islam and Christian-Muslim Relation,( Vol.7. No 3, 1996), h. 337.
[2] Mahir al-Munjid, Al-Ishkaliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitab wa al-qur’an: Dirasah Naqdiyyah, dalam Alam al-fikr, (t.tp., t.p, t.t), h. 160.
[3] Charles Kurzman, Wacana islam liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang Isu-isu Glbal, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 210.
[4] Munjid, Loc.cit
[5] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, ( Damaskus: al-Ahalliy li at-Tiba’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi, 1992), h.30-32.
[6]
[7] Wael B. Hallaq, Prinsip dan Dasar Hermeuetika Hukum Islam Kontemporer, terjemahan Al-Kitab wa al-Qur’an Qiraâh al Muashirah, (Yokyakarta: elSAQ press, 2007), h. 31
[8] Ibid., h.34
[9] Ibid., h. 38
[10] Muhammad Syahur, Op.cit., h.463
[11] Istilah ‘positif” dan “negatif” disini bukan istilah moral (baik dan Buruk) tetapi istilah matematika ‘pasitif (plus) berarti di atas garis nol, dan negatif (minus) dibawah garis nol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar