Senin, 02 Maret 2009

IJtihad Muhammadiyah

METODE IJTIHAD MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Oleh Rahmawati
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya, pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Pemikiran kaum muslim ini sudah tentu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberikan pengarahan, kearah mana pemikiran tersebut harus dikembangkan. Meskipun ditemui keragaman pemikiran dikalangan muslimin.
Keragaman pemikiran itu disebabkan oleh perbedaan persepsi antar kelompok-kelompok umat dan perbedaan interpretasi tentang suatu ayat atau hadis. Namun Keragaman pemikiran itu tidak perlu mejadi penghalang bagi pertumbuhan masyarakat, bahkan bila dihadapi dan dikelola secara bijak, keragaman pemikiran itu justru akan menimbulkan kesegaran. Secara objektif, pemikiran yang tidak tahan bantingan akan dengan sendirinya masuk ke kota sejarah, sedangkan pemikiran yang lebih kokoh dan benar akan terus bertahan melayani umat dan masyarakat.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyakatan Islam tertua di Indonesia. Sebagai organisasi kemasyarakatan, ia mengurus berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, panti asuhan, penyuluhan, kebajikan dan lain-lain yang jumlahnya semakin bertambah setiap tahun. Ia juga mempunyai berbagai organisasi otonom, majelis dan lain-lain terikat dengan cita-cita Muhammadiyah.
Muhammadiyah, melalui majelis tarjihnya, telah berusaha untuk mengikuti perkembangan pemikiran keislaman dan sekaligus memberikan tanggapannya. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa sumber ajaran Islam hanya al-Qur’an dan Sunnah. Artinya bahwa segala persoalan yang muncul saat ini harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut.Tentu penalaran yang cerdas tidak dapat diabaikan, terutama dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang baru dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka ijtihad memegang peranan yang strategis dan penting dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum kontemporer. Namun demikian menurut Muhammadiyah, ijtihad tidak lebih dari sekedar metode untuk memahami isi dan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena itu, Mujtahid hanyalah sebagai pengungkap hukum (kasyf al-hukum), tidak sebagai penetap hukum (munsyi’ al-hukm).
Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada tajdid. Bagi organisasi ini,tajdid dapat berarti reformasi dan dapat pula berarti modernisasi. Tajdid dalam arti yang pertama, kelihatannya sudah banyak dilakukan oleh organisasi sosial keagamaan ini. Untuk menyelesaikan masalah-masalah fiqhi kontemporer, yang merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, organisasi ini berpendapat bahwa peranan akal manusia menjadi penting artinya dalam memahami ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu bagi Muhammadiyah ijtihad bukan saja perlu, namun juga harus dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.

B. Permasalahan
Berangkat dari latar belakang di atas, permasalahan yang penting untuk dikemukakan dalam kajian ini adalah; bagaimana metode ijtihad Majelis Tarih Muhammadiyah? Dengan sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah?
2. Bagaimana metode ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah?

II. PEMBAHASAN
A. Hakikat Ijtihad Dalam Muhammadiyah
Ijtihad dapat dilakukan secara individu dan kolektif. Muhammadiyah memilih ijtihad dalam bentuk yang kedua. Hal ini dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih. Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fiqih. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yokyakarta, dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama[1]. Tujuan pendirian Majelis ini adalah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyat, kemudian menetapkan pendapat yang terkuat, untuk diamalkan warga Muhammadiyah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Majelis Tarjih tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyat, tetapi juga mengarah pada penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak anggota Lajnah Tarjih menuntut agar Majelis Tarjih diubah namanya menjadi Majelis ijtihad[2]. Namun dengan alasan kesejarahan, sampai saat ini namanya tetap Majelis Tarjih.
Sejak didirikannya pada tahun 1928 sampai sekarang, tugas Majelis Tarjih telah mengalami perkembangan dan perubahan. Semula majelis ini hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh majelis Tarjih, ketika lembaga ini didirikan, warga Muhammadiyah sendiri akan mengalami perselisihan yang tajam[3]. Agaknya, Tugas utama Majelis Tarjih pada awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama mengenai pelaksanaan ibadah. Hal ini dapat dilihat pada agenda pembahasan muktamar tarjih pertama tahun 1929 di Solo sampai muktamarnya pada tahun 1953, hanya membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah mulai dari masalah bersuci sampai pelaksanaan ibadah haji ditambah pembahasan jenazah dan waqaf. Pada tahun 1954 dan tahun 1955 membahas sumber ajaran Islam. Kemudian mulai tahun 1968 sampai sekarang baru dibahas dan ditetapkan hukumnya mengenai berbagai masalah mu’amalah kontemporer. Disadari bahwa ijtihad dalam berbagai masalah kontemporer merupakan tugas yang tidak mudah, maka orang yang ikut serta dalam pembahasan tersebut seharusnya memenuhi kualifikasi ijtihad.
Dalam lapangan atau ruang lingkup ijtihad, berpendapat bahwa ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam fiqhi saja.Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan lagi apalagi jika dikaji secara rasional.[4] Bidang yang terakhir ini oleh Muhammadiyah dimasukan kepada lahan pemurnian, dan bukan lahan modernisasi. Tentu pendapat ini tidak sepenuhnya disetujui oleh warga Muhammadiyah, terutama para cendikiawan atau pemikirnya. Mereka menginginkan ijtihad Muhammadiyah secara menyeluruh, tidak terbatas pada masalah fiqhi saja.Mereka menginginkan ijtihad muhammadiyah sama seperti ijtihad Muhammad Abduh[5]. Mengenai hal ini M.Watik Pratiknya berharap agar tajdid tidak hanya diartikan sebagai purifikasi saja, tetapi harus diartikan juga sebagai redefinisi dan reformulasi. Baginya masalah-masalah baru harus dipahami secara integralistik[6].
Adapun rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut[7]:
Dari segi bahasa tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdid memiliki dua arti, yakni;
a. Pemurnian;
b. Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur’an dan As Sunnah Ash-Shohihah.
Dalam arti “peningkatan,pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk melakukan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.Menurut perserikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdid di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijitihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran islam, al-Qur’an dan hadits; dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam pembentukannya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali Al-Qur’an dan hadist sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya bagi Muhammadiyah akal mempunyai peranan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadist. Namun kata-kata “yang dijiwai ajaran Islam” memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadist. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhahir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari pada pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh Muhammad Abduh. Menurut yang disebut terakhir ini, akal harus didahulukan dari arti zhahir nash, jika terdapat pertentangan diantara keduanya[8]. Artinya, nash itu harus dicari interprestasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.
Untuk memahami lebih jelas hakikat tajdid dalam Muhammadiyah, perlu diperhatikan pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam pembahasan masalah tajdid pada forum muktamar tarjih XXII itu. Dari rangkaian pemikiran itu diharapkan dapat dilihat karakteristik atau hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah.
Amin Rais, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 1985-1990, pada dasarnya menerima upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Upaya itu menurutnya, harus tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Hadist. Artinya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist dapat dipahami sesuai dengan konteks dimana umat Islam itu berada. Tetapi ia tidak setju kalau “sebuah hukum yang sudah qat’i dalam al-Qur’an disesuaikan dengan praktek masyarakat modern”[9]. Sementara itu Mukti Ali, dalam prasarannya di forum muktamar tarjih, menyetujui sepenuhnya upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Ia menyatakan, untuk menghadapi dunia yang serba berubah ini “teks”al-Qur’an dan Hadist harus dipahami dengan memperhatikan keadaan disekitarnya, konteks. Itulah yang dimaksud memahami agama Islam secara kontekstual.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman Muhammadiyah tentang ijtihad bertitik tolak dari kerangka berpikir, bahwa Islam diyakini sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan situasi baru. Kelihatannya bagi Muhammadiyah ijtihad memberikan kemungkinan adanya penyegaran dan penyesuaian Islam pada situasi baru. Dengan ijtihad itulah ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya, dapat diterima umat manusia dimana dan kapanpun mereka berada.
B. Metode Ijtihad Muhammadiyah
Kajian ini difokuskan pada apa yang tertulis dalam manhaj istinbath Majelis Tarjih dan Himpunan Putusan Tarjih untuk melihat lebih jauh konsistensi Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah digariskan.
Sumber hukum utama dalam pandangan Muhammadiyah tidak berbeda dengan NU bahkan seluruh umat Islam dalam berbagai mazhab dan aliran yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Tentu penjelasan dari Sunnah tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskan al-Qur’an. Karena itu menurut ahli hadis salah satu tolak ukur untuk menyeleksi hadis adalah harus diuji dengan al-Qur’an. Kalau hadis sejalan dengan al-Qur’an maka hadis itu dapat diterima. Tetapi jika Hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an, maka, Hadis itu tidak dapat diterima[10].
Kelihatannya Muhammadiyah tidak mengembangkan tolak ukur tersebut. Sebagai indikatornya ada beberapa hadis yang dijadikan putusan tarjih, yang diduga sementara pihak sebagai tidak sejalan dengan al-Qur’an. Sebagai contoh Hadis tentang hukum membayar puasa untuk orang yang meninggal dunia dan hukum memakai emas bagi laki-laki[11].
Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan yang baru, sepanjang tidak berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat dalam nash sharih yaitu al-Qur’an dan Sunnah, dilakukan denga ijtihad dan isthimbath dari nas yang ada melalui persamaan ‘illat[12].
Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan merupakan sumber hukum tetapi sebagai metode penetapan hukum dalam Islam.
Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqhi terdahulu, namun di sana sini terdapat modifikasi atau kombinasi seperlunya. Ijma yang dibahas dalam ushul fiqhi tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya menerima konsep ijma yang terjadi dikalangan sahabat. Hal ini mengisyaratkan bahwa ijma tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma karena umat Islam masih sedikit jumlahnya[13].
Banyak faktor yang menyebabkan tidak adanya ijma pada masa sekarang. Salah satu diantaranya karena jumlah umat Islam sekarang ini cukup banyak dan mereka tersebar diberbagai belahan dunia yang berjauhan.Lebih dari itu menentukan kriteria mujtahid, seperti yang terdapat dalam defenisi ijma, juga tidak mudah. Belum lagi adanya perbedaan sekte dan aliran dalam Islam yang pada gilirannya akan mempesulit proses ijma itu[14]. Bahkan Ibnu Qayyim menegaskan bahwa pengetahuan seseorang tentang kesepakatan umat Islam yang berada diberbagai belahan dunia ini, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, dapat dikatakan hal yang paling sulit terjadi[15].Pendapat ini diterima oleh Muhammadiyah.
Selanjutnya qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima Muhammadiyah dengan catatan bukan menyangkut ibadah mahdah. Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas, ternyata banyak peserta mu’tamar tarjih yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, tetapi banyak pula yang menyetujuinya. Engan kata lain warga Muhammadiyah tidak sepakat penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum.Namun demikian kenyataannya, betapapun seseorang atau sekelompok orang tidak menerima qiyas, namun persoalan-persoalan yang baru harus diselesaikan dengan melihat ‘illatnya. Kegiatan ini tidak lain kecuali qiyas.
Istihsan sebagai metode penetapan hukum tidak dijelaskan Muhammadiyah secara eksplisit, tetapi dari rumusan yang terdapat dalam manhaj Majelis Tarjih dapat dipahami bahwa metode istihsân diterima oleh Muhammadiyah. Dalam poin ke sembilan manhaj tersebut dinyatakan bahwa menta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis[16]. Kegiatan ini erat kaitannya dengan metode istihsân.
Berbeda dengan qiyâs dan istihsân, dalam al-maslahat al-Mursalah sama sekali tidak terdapat nash yang secara khusus mengaturnya, melainkan termasuk ruang lingkup maqâsid al-syari’at secara umum. Metode ini digunakan untuk mengantisipasi persoalan baru, padahal nash dan al-Qur’an dan Hadis belum mengaturnya. Tentu bidangnya luas dibandingkan dengan dua metode sebelumnya. Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah.
Dalam pandangan Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan[17]. Agaknya, cara berpikir seperti ini sejalan dengan pernyataan al-tufi, salah seorang pengikut Ahmad bin Hanbal. Ia menegaskan bahwa kemaslahatan umat merupakan jiwa dari aspek hukum dalam Islam yang berhubungan dengan Muamalah. Bahkan lebih jauh dari itu, baginya kemaslahatan dalam bidang muamalah harus didahulukan dari pada nas, apalagi terjadi pertentangan satu sama lainnya. Artinya maslahat dalam bidang muamalah dapat mentakhsiskan nash[18]. Namun tidak berarti membatalkan nash sama sekali. Pernyataan al-Thufi yang terakhir ini tidak dinyatakan secara eksplisit Muhammadiyah. Namun berdasarkan keterangan sebagian pimpinan Majelis Tarjih Muhammadiyah tetap mendahulukan zhahir nash dari pada maslahat, ketika satu sama lain dianggap bertentangan[19].
Muhammadiyah dalam berijtihad juga menggunakan metode saddu al-zari’at. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk kemaslahatan manusia.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yaitu :
a.Al-ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis.
b..Al-ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis
c.Al-Ijtihad al-Istishlahî yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Namun bila diurut secara rinci, jalur yang terakhir menggunakan konsep maslahah lebih banyak dari jalur sebelumnya. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan Muhammadiyah dalam masalah-masalah muamalah selalu bertumpu pada maqâsid al-syari’at yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia dengan cara memperhatikan hal-hal yang bersifat èarûriyat, hâjiyat dan tahsiniyat. Dan setiap tingkat memperhatikan lima unsur utama yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Untuk membuktikan metode ijtihad Muhammadiyah akan dikaji beberapa putusan Majelis Tarjih yang berhubungan fiqhi kontemporer.
a. Keluarga Berencana
Yang menarik dari putusan yang diambil Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai hukum mengikuti program keluarga berencana adalah bahwa meskipun pada dasarnya menjarangkan atau membatasi kelahiran itu tidak dibenarkan, namun dalam keadaan darurat tindakan itu dapat dibenarkan. Apa kriteria darurat yang dimajukan? Kelihatannya dalam membuat kriteria darurat Muhammadiyah mencoba menghubungkan dengan maqâsid al-syari’at, yaitu demi kemaslahatan manusia. Bagi Muhammadiyah, darurat yang dijadikan dasar bolehnya melakukan penjarangan dan penundaan kehamilan dalam mengikuti program KB adalah:
1.Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengandung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan keterangan dokter yang dapat di percaya.
2. Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan seperti terseret menerima hal-hal yang haram.
3. Menghkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran terlalu dekat[20].
Jika dihubungkan dengan maqâsid al-syari’at seperti yang telah dijelaskan maka kriteria darurat sejalan dengan pemahaman ahli ushul fiqhi.
b.Sterilisasi
Yang dimaksud dengan sterilisasi adalah proses pemandulan laki-laki atau wanita dengan alan operasi agar tidak mendapatkan keturunan.caranya adalah saluran mani di potong kemudian kedua ujungnya di ikatsehingga sel sperma tidak dapat mengalir keluar penis. Sedangkan bagi wanita disebut tubektomi dimana sel telur dipotong dan keduanya ditutup, sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sperma pun tidak dapat masuk untuk bertemu dengan sel telur.
Muhammadiyah berpendapat, bahwa sterilisasi tidak dibenarkan oleh ajaran Islam . Pernyataan ini dapat dipahami dari penjelasannya tentang KB sebagai berikut: pencegahan kehamilan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam ialah sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat segan mempunyai keturunan atau dengan cara merubah organisme yang bersangkutan, seperti memotong dan mengikat daln lain-lain.Muhammadiyah mengharamkan sterilisasi secara mutlak alasannya bahwa memperoleh keturunan merupakan tujuan utama disyari’atkan nikah dalam Islam seperti digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam rangka pembahasan dan penyelesaian masalah-masalah fiqhi kontemporer, Muhammadiyah ternyata berusaha untuk memahaminya dengan kerangka teori dan pendekatan maqâsid al-syari’at yakni memperhatikan maslahat baik yang termasuk peringgkat èarûriyat, hâjiyat dan tahsiniyat.
III.PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Ijtihad bagi Muhammadiyah bukan saja boleh melainkan harus dilakukan terutama dalam menghadapi berbagai masalah yang baru sebagai akibat dari kemajuan teknologi. Tanpa melakukan ijtihad ummat Islam akan sulit menyelesaikan berbagai macam masalah kontemporer namun demikian baginya ijtihad tidak lebih sekedar hasil pemikiran manusia dalam memahami wahyu Allah. Karena itu hasil ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang bersifat relatif (tidak mutlak benar). Berdasarkan prinsp realitas hasil ijtihad itu pulalah Muhammadiyah sampai pada satu kesimpulan bahwa ijtihad tidak dapat dijadikan sumber hukum dalam Islam tetapi hanya sekedar metode untuk menggali dan menetapkan hukum.
2. Metode ijtihad yang digunakan yaitu pertama; Metode ijtihad qiyasi (digunakan manakala kasus yang baru itu ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Dan kedua; Metode ijtihad Istislahi (digunakan manakala kasus yang baru itu tidak ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Untuk metode yang kedua ini Muhammadiyah menggunakan metode al-Maslahah al-Mursalah, Istihsân dan Saddu al-Zari’ah dalam upaya mewujudkan kemaslahatan manusia.















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Turkey,Ushul Mazhab al-Imam Ahmad Dirasat Ushuliyyat Muqaranat, Riyad: Maktaba al-Riyad al-Hadisat, 1977.
Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh Beirut: Dâr al-Fikr, 1989
Amin Rais, Beberapa Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Muktamar Tarjih XXII, 1989.
Amir Maksum, Pemahaman Tajdid Dalam Muhammadiyah, (Makalah disampaikan pada Muktamar Tarjih ke XXII, 1989.
Asmuni Abdul Rahman , Metode Penetapan Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Dewan Nahdat, Al-Imam Muhammad Abduh, Beirut; Dar al-Ilmi li al-Malayin,1983.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbil al-‘Alamin, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikri, 1964.
Lihat Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz KeputusanMuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII”, PP. Muhammadiyah,1990.
Lihat”Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih”, yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan” dalam PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Buku Panduan Muktamar Tarjih MuhammadiyahXXII,(Mlang: 1989.
Hasyim Manan, Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid Keagamaan, dalam A. Halim Mahfuz , op.cit.h. 24-25
Mustafa Zaid, Al-Maslahat fi al-Tasyrî al-Islami wa Najmu al-Dinal-Thufî, t.t.:Dâr al-Fikr, 1964.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Himpunan Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta: t.th.
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Jakarta: al-Majelis al-‘ala al-Indunisi li al-Da’wat al-Islamiyat, 1972.
Wawasan Teologis Para Pemimpin Muhammadiyah Harus di Bangkitkan”, dalam Yogya Post, (15 Desember 1990.

[1] Asmuni Abdul Rahman , Metode Penetapan Hukum Islam,( Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 30
[2] Amir Maksum, Pemahaman Tajdid Dalam Muhammadiyah, (Makalah disampaikan pada Muktamar Tarjih ke XXII, 1989), h.15
[3] Asmuni A. Rahman, et.al., op.cit., h.23 dan 37.
[4] Amir Maksum, op.cit.,h.11
[5] M.Hasyim Manan, Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid Keagamaan, dalam A. Halim Mahfuz , op.cit.h. 24-25
[6] “Wawasan Teologis Para Pemimpin Muhammadiyah Harus di Bangkitkan”, dalam Yogya Post, (15 Desember 1990), h. 12.
[7] Lihat Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz KeputusanMuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII”, (PP. Muhammadiyah,1990), h. 47.
[8] Dewan Nahdat, Al-Imam Muhammad Abduh, (Beirut; Dar al-Ilmi li al-Malayin,1983), h. 7-8, Lihat Juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h.65
[9] Amin Rais, Beberapa Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Makalah disampaikan dalam Muktamar Tarjih XXII, 1989), h.4
[10] Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h.434
[11] Dalam putusan Majelis Tarjih disebutka bahwa apabila aada orang yang dalamperwaliannya meninggal, sedang ia berhutang puasa , maka wali harus berpuasa untuk orang tersebut. Di antar dalil yang digunakan adalah: Hadis عن عائشة ان رسول الله قال من مات وعليه صيام صام عنه وليه, sementara pihak lain menganggap hadis ini tidak sejalan dengan QS. Al-Najm (53):39, Lihat Himpunan tarjih, op.cit., h.171,179,180, 289-290.Mengenai haramnya laki-laki memakai sutera, majelis Tarjih menggunakan hadis احل الذهب والحرير للاناث من امتى وحرم على ذكورها , Hadis ini sementara pihak dianggap tidak sejalan dengan QS. Al-‘Araf: 32).
[12] Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Himpunan Putusan Majelis Tarjih,( Yogyakarta: t.th), h. 278
[13] Sesuai dengan kriteria ijma; wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Jaakarta: al-majlis al-‘ala al-Indunisi li al-Da’wat al-Islamiyat, 1972), h. 45-46
[14] Abdul Majid Turkey,Ushul Mazhab al-Imam Ahmad Dirasat Ushuliyyat Muqaranat,(Riyad: Maktaba al-Riyad al-Hadisat, 1977), h. 313
[15] Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbil al-‘Alamin,(Beirut: Dâr al-Fikri, 1964),Juz II, h.334
[16] Lihat”Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih”, yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan” dalam PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Buku Panduan Muktamar Tarjih MuhammadiyahXXII,(Mlang: 1989), h.22
[17] Ibid., h. 23
[18] Mustafa Zaid, Al-Maslahat fi al-Tasyrî al-Islami wa Najmu al-Dinal-Thufî, (t.t.:Dâr al-Fikr, 1964), h.117 dan 121.
[19] Amir Maksum, Loc.cit.
[20] Himpunan Putusan Tarjih, Op.cit., h.309-310

Pornagrafi/Pornoaksi

PORNOAKSI DAN PORNOGRAFI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Rahmawati
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu isu penting yang dihadapi bangsa Indonesia di era reformasi ini adalah merebaknya kasus-kasus pornoaksi dan pornografi pada semua elemen masyarakat, mulai dari pekotaan sampai pedesaan.
Fenomena maraknya dan merebaknya kasus pornografi-pornoaksi dalam beberapa tahun terakhir, merupakan efek langsung dari media dalam memberitakan dan memproduksi item-item pornoaksi-pornografi. Bukan kebetulan debat tentang pornoaksi-pornografi berbarengan dengan munculnya foto bugil di berbagai media cetak.
Sejumlah kajian meyimpulkan bahwa kondisi krusial tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai faktor: pertama, lumpuhnya sistem hukum di negeri ini dan salah satu indikasinya adalah tidak tegaknya sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penghapusan pornoaksi dan pornogafi. Kedua, lembaga keluarga belum berfungsi secara maksimal dalam memainkan peran edukatif mendidik anggata mereka. Ketiga, gagalnya institusi pendidikan, termasuk lembaga pendidikan agama dalam menanamkan moralitas dan nilai-nilai etika kepada anak didik. Keempat, masih kentalnya budaya partiarki di masyarakat yang memandang perempuan sebagai subdinator laki-laki dan memposisikan perempuan hanya sebagai obyek seksual, Akibatnya, media cetak dan elektronik penuh dengan gambar tubuh perempuan yang erotis. Kelima, interpretasi agama yang memposisikan perempuan sebagai penggoda dan sumber fitnah, serta tidak memiliki kemandirian sebagai manusia secara utuh. Keenam, pengaruh globalisasi yang menyebabkan pola hidup kapitalistik, hedonistik dan materialistik[1].
Dari keenam asumsi tersebut, faktor penyebab utama yang dijadikan kambing hitam bagi maraknya fornografi adalah ulah dan kebebasan perempuan, terutama dalam kebebasan berbusana dan berekspresi. Kebiasaan masyarakat untuk selalu menyalahkan perempuan berangkat dari pandangan bahwa perempuan adalah penggoda dan ironisnya pandangan ini mendapatkan legitimasi dari ajaran Islam, terutama perempuan sebagai penyangga moral.Sikap seperti itu mungkin diilhami oleh ajaran agama, seperti bunyi hadis yang banyak disosialisasikan:” Perempuan adalah tiang negara, jika ia baik maka baiklah bangsa , tetapi jika perempuan rusak maka rusak pula negara. Berbeda dengan perempuan, laki-laki kurang ditekankan untuk bertanggung jawab penyangga moral masyarakat.
Dengan asumsi dasar seperti itu maka solusi yang ditawarkan adalah mengontrol tubuh perempuan, membatasi kebebasannya dan yang paling mengemuka adalah menyodorkan Rancangan Undang-undang anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) yang menempatkan perempuan sebagai objek hukum.
Pornografi dan pornoaksi selalu menarik untuk dikaji. Banyak respon dari berbagai pihak mengenai masalah ini. Permasalahan yang dapat dikaji mengenai tema ini, diantaranya adalah dengan dilakukannya tinjauan hukum Islam terhadap pornografi dan pornoaksi sebagaimana yang akan dikaji dalam makalah ini.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi kajian dalam makalah ini adalah Bagaimana pornoaksi dan pornografi dalam tinjauan hukum Islam? Dari masalah tersebut dirumuskan sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat pornografi dan pornoaksi?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang pornografi dan pornoaksi?
3. Bagaimana upaya pencegahan dan pemberantasan pornografi-pornoaksi?
C.Siqnifikansi
1. Tujuan penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pornografi dan pornoakasi sekaligus mensosialisasikan bahwa pornografi dan pornoaksi telah marak ditengah masyarakat sehingga perlu mencari solusi bersama dalam upaya penanggulangannya.
2. Kegunaan Penelitian
1. Memberikan informasi tentang bahaya pornografi dan pornoaksi.
2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan hal tersebut.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian pornografi dan pornoaksi
Istilah pornografi berasal dari bahasa yunani kuno porne, artinya budak seks perempuan ( pelacur), dan graphos berarti penulisan atau penggambaran mengenai tindak tanduk tersebut, graphein berarti ungkapan[2]. Menurut kamus webster, pornografi adalah tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat dan membacanya. H.B yassin, budayawan terkemuka menyatakan bahwa pornografi menciptakan fantasi pembaca atau penonton ke daerah-daerah seputar kelamin, fantasi itu kemudian membakar birahi. Makin lama seseorang terekspos pada materi pornogarafi makin insten rangsangan seksual yang ditimbulkannya[3]. Sedangkan pornoaksi adalah suatu penggambaran aksi gerakan yang dapat memancing bangkitnya nafsu seksual[4].
Dalam Pasal I RUU Anti Pornografi-Pornoaksi dirumuskan defenisi pornografi-pornoaksi sebagai berikut:
Pornografi dan pornoaksi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film atau video, terawang, tayangan, atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan/atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku dan seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain[5]
Di Yunani pada abad empat sebelum masehi terdapat seorang yunani yang cantik jelita bernama Phryne dari Thespia. Ia seorang Hetaherai, yaitu seorang perempuan yang kehidupannya hanya bersenang-senang dengan laki-laki. Hetaherai berbeda dengan porne, yaitu perempuan pelacur yang digunakan dan dibayar setiap hari. Phyrne pernah dituduh sebagai perempuan yang mengkorupsi para jejaka Athena. Ketika pengadilan akan menjatuhkan hukuman kepada phyrne, pembela phyrne, Hyperides mengajukan pembelaan dengan cara meminta phyrne berdiri di suatu tempat di depan sidang dengan posisi dapat dilihat oleh semua yang hadir. Ia menanggalkan pakaiannya satu persatu sehingga seluruh keindahan tubuhnya tampak oleh hakim dan seluruh yang hadir. Dan akhirnya, Phyrne dibebaskan dari hukuman. Pertunjukan Phyrne itulah awal dari pertunjukan striptease[6]. Sehingga, defenisi yang tepat atas pornografi dan pornoaksi dibatasi aspek eksploitasi dan prilaku seksual atas dasar kesengajaan yang dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), tinjauan norma ketimuran[7] dan agama.
Saat ini, masalah pornografi dan pornoaksi semakin memprihatinkan dan dampak negatifnya pun semakin nyata, di antaranya, sering terjadi perzinahan, pemerkosaan dan bahkan pembunuhan maupun aborsi. Orang-orang yang menjadi korban tindak pidana tersebut tidak hanya perempuan dewasa, tetapi banyak korban yang masih anak-anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Para pelakunya pun tidak hanya orang-orang yang tidak dikenal, atau orang yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan korban di antara pelaku yang masih mempunyai darah. Bahkan para korban pornografi dan pornoaksi tidak hanya orang yang masih hidup tetapi orang yang sudah meninggalpun dijadikan tempat pelampiasan hawa napsu akibat dari adegan-adegan porno yang dipertontonkan.

B. Pornografi dan Pornoaksi Telaah Hukum Islam
Dalam hukum Islam, sejak abad ketujuh Masehi, perbuatan-perbuatan tersebut sudah dilarang secara tegas, karena teramat jelas kemudaratannya. Namun yang perlu segera dikemukakan adalah sampai saat ini masih ada pendapat bahwa hukum Islam, khususnya hukum pidana Islam, tidak sesuai dengan hak asasi manusia, karena dianggap melanggar hak-hak kemanusiaan sebagai individu, kejam dan demoralisasi.
Menurut pihak ini, tubuh bagi setiap orang adalah hak mutlak pribadi masing-masing. Setiap individu bebas memperlakukan tubuhnya, termasuk mempergunakan tubuhnya untuk hal-hal yang pornografis atau untuk melakukan perbuatan-perbuatan pornoaksi. Jika ada anggota masyarakat atau orang lain yang terganggu atau terangsang hasrat seksualnya, atau merasa jijik, malu, muak sebagai akibat dari melihat, atau mendengar, atau menyentuh tindakan-tindakan yang porno tersebut, menurut mereka, adalah karena orang bersangkutan rusak moralnya, kotor pikirannya, ngeres otaknya. Setiap orang bebas mengekspresikan tubuhnya tanpa batas, sepanjang tidak melanggar kesusilaan masyarakat setempat. Karena itu, hukum publik, menurut mereka, dilarang ikut serta mengatur perilaku seseorang terhadap sikap, perbuatan, tindakan, perlakuan terhadap tubuh masing-masing. Karena tubuh adalah merupakan hak mutlak masing-masing individu, bukan hak hukum publik[8].
Ajaran Islam adalah ajaran yang selalu memegang prinsip al-hifz, preventif dalam menjaga kemaslahatan dan menjauhkan mafsadat manusia. Memelihara keturunan dan kehormatan keluarga, bahkan orang lain merupakan ajaran Islam yang paling fundamental, seperti pada implentasi èaruriyat di atas. Upaya memelihara kehormatan ini ada kaitan dengan pemeliharaan anggota badan, satrul aurah, menundukkan pandangan dan menjaga diri kontak dengan orang lain jenis dan bukan mahram, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, maka ada beberapa istilah yang berkaitan dengan tindakan preventif atau dalam bahasa kaidah u¡uliyah, “sadd al-©ari’ah” (menutup jalan), seperti penyebutan kata yang sopan untuk yang ada kaitannya dengan hubungan seksual, seperti kata, mubasyarah, mulamasah, masas, harst, dll.
Hukum Islam secara tegas mengatur bagaimana cara orang memelihara tubuh. Tubuh adalah amanah Allah yang wajib dipelihara oleh setiap insan demi menjaga kehormatan. Islam menuntun, membimbing, mengarahkan dan menentukan manusia dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuh agar terjaga kehormatan, derajat, dan martabat diri, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat kelak. Kajian Ulama menambahkan bahwa pemeliharaan diri dari hal-hal pornografis dan pornoaksi sama maknanya dengan pemeliharaan tubuh, jiwa, akal dan rohani yang menyatu dan terwujud dalam tubuh setiap manusia sekaligus memelihara agama, keturunan, harta serta kehormatan diri.
Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 Tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi tanggal 22 Agustus 2001, adalah berdasarkan QS. Al-Isra (17):32 yang melarang mendekati zina, QS. An-Nur (24):30-31 yang mengatur tentang cara bergaul, memelihara kehormatan, dan batas aurat , QS. Al-Ahzab (33):59 yang mengatur tentang aurat perempuan dan QS. Al-Maidah tentang kewajiban tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan larangan melakukan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.
Dalam sistem masyarakat Islam, bukan hanya sistem nilai yang diutamakan, tetapi juga sistem krido dan norma yang terimplementasi dalam aqidah, syariah, dan akhlaq. Islam mengatur segala ucapan, tindak, gerak, dan langkah manusia mukallaf dalam koridor hukum yang dalam implementasinya disebut al-ahkmul ¥amsah (hukum yang lima). Ketika pornografi dan pornoaksi muncul, maka landasan filosifisnya dikembalikan pada èaruriyat (ketentuan hukum yang selalu harus ada), h±jiyat (kebutuhan pokok), dan tahsiniyat (keindahan) yang dalam implementasinya berkaitan dengan hif§ al-din, hif§ nafs, hif§ nasl wa al-‘arè, hifzh mal, dan hif§ al-aql.
Maka problematika porno dalam Islam amat transparan dan jelas, sehingga dikenal batas-batas haram dan halal, jangankan dalam urusan porno, batas-batas aurat pun baik bagi laki-laki maupun perempuan amat eksplisit dan terinci. Semuanya bermuara pada hif§ al-nasl dan al-‘arè (memelihara keturunan dan kehormatan). Hukuman pornografi dan pornoaksi, walaupun dalam al-Quran dan Sunnah tidak jelas hukum pidananya. Karena itu, ahli hukum, fuqaha, dan para yuridis, dapat menentukan melalui ta’zir (celaan).
Pornografi-pornoaksi dalam Islam masuk dalam kategori zina dan Islam melarang sekedar mendekatinya. QS. Al-Isra : 32:
wur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ
32. Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Secara bahasa, zina berarti hubungan kelamin (seksual) yang terjadi antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan akad nikah[9]. Ia termasuk dosa yang penyebutannya seiring dengan perbuatan syirik dan membunuh.Allah berfirman QS. Al-Furqan: 68-70:
tûïÏ%©!$#ur Ÿw šcqããô‰tƒ yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä Ÿwur tbqè=çFø)tƒ }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ Ÿwur šcqçR÷“tƒ 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ t,ù=tƒ $YB$rOr& ÇÏÑÈ ô#y軟Òムã&s! Ü>#x‹yèø9$# tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ô$é#øƒs†ur ¾ÏmŠÏù $ºR$ygãB ÇÏÒÈ žwÎ) `tB z>$s? šÆtB#uäur Ÿ@ÏJtãur WxyJtã $[sÎ=»¹ šÍ´¯»s9'ré'sù ãAÏd‰t6ムª!$# ôMÎgÏ?$t«Íh‹y™ ;M»uZ¡ym 3 tb%x.ur ª!$# #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ ÇÐÉÈ
68. Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), 69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, 70. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Namun demikian, zina bukan hanya berarti hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan akad nikah.Perbuatan homoseks atau lesbian atau liwat dalam bahasa Arab, berhubungan seks dengan binatang, menurut imam mazhab[10].
Upaya preventiv untuk menghindari terjadinya porno dalam ajaran Islam dengan adanya ketentuan halal dan haram ketika bermuamalah, kontak, dan berbicara dengan orang lain, bahkan dengan keluarga sendiri, seperti dilarangnya i¥tilaţ tanpa tujuan yang syar’i. Anak-anak yang sudah berumur sepuluh tahun dipisahkan tempat tidurnya dari saudaranya, anak-anak dilarang masuk kamar orang tuanya pada waktu-waktu tertentu. Pakaian yang sopan dan menutupi aurat, baik laki-laki maupun perempuan, walaupun batas aurat di antara keduanya berbeda. Di bawah ini akan diuraikan upaya-upaya ajaran Islam agar seseorang tidak tergoda dengan porne, pornografi maupun pornoaksi:
1.Khalwat (menyendiri antara laki-laki dan perempuan)
Khalwah adalah keterpisahan atau menyendiri antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Yang dimaksud dengan mahram ada kaitan darah, keturunan atau melalui perkawinan. Parameter mahram atau bukan mahram adalah diperbolehkannya secara syar’i seseorang menikah dengan orang tersebut. Untuk menghindari sesuatu yang akan membawa kepada porno (hubungan seksual di luar nikah) adalah dengan membatasi pergaulan antara lain jenis manusia itu, kecuali mahramnya ada. Karena itu seorang perempuan yang keluar rumah, tanpa disertai mahramnya dilarang agama.
عن ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي (ص) قال: الرأة عورة فاذا خرجت استشر فيها الشيطان
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Nabi saw, bersabda, wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar rumah, maka setan tampil membelalakan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya” (HR. at-Tirmidzi)
2. Obrolan seks (dilarang rafats)
Dalam Alquran terdapat ayat yang menyebut rafats, yaitu pada surat al-Baqarah: 197. Rafats ialah kata-kata “kotor”, tak enak didengar, berupa cumbu rayu dan kata-kata tidak baik diucapkan yang mendorong kepada hubungan seksual. Rafats adalah arti kiasan untuk hubungan seks, jima. Kata-kata ini tidak boleh sembarang diucapkan dan hanya dibolehkan pengucapannya antara istri dan suami, bahkan antar mereka pun dilarang pada waktu sedang melaksanakan ibadah haji dan dihindari pengucapannya di waktu saum pada siang hari. Al-Quran menyatakan sebagaimana tercantum pada al-Baqarah: 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwal dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
3. Kewajiban menutupi aurat dan menundukkan pandangan
Kewajiban menutup aurat dan tidak mengumbar pandangan ada kaitan dengan kewajiban menjaga diri dan hati dari niat dan dorongan syetan terhadap manusia yang dalam hatinya ada maradh (penyakit dengan niat jahat) untuk melakukan onar. Dalam al-Quran, al-Ahzab: 59) dan hadis disebutkan sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan mukminin agar mengulurkan jilbab-jilbab mereka. Ini lebih mudah untuk dikenal dan agar tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”.
Pada surat lain, al-Nur: 30-31) Allah berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
“Katakanlah kepada orang-orang berimana agar mereka menundukkan pandangannya dan memelihara farji-farji mereka. Itu lebih bersih buat mereka. Sesungguhnyha Allah Maha Melihat terhadap apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mukminat, agara menundukkan dari pandangan-pandangan mereka dan memelihara farji-farji mereka dan jangan menampilkan erhiasan mereka kecuali yang nampak darinya. Dan agar menutup dengan kerudung-kerudung mereka atas dada-dada mereka. Dan janganlah menampilkan perhiasan mereka kecuali atas suami-suami mereka atau ayah-ayah mereka atau ayah-ayah suami mereka atau anak-anak mereka atau anak-panak suami mereka atau saudara laki-laki mereka atau anak laki-laki saudara laki-laki mereka atau anak-anak saudara waniat-wanita Islam meteka atau budak-budak mereka atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belim mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkjan kakinya agar diketahui perhiasan yang disembunyikan Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Adapun hadis yang berkaitan larangan porno yaitu:
عن عائشة رضي الله عنها : أن أسماء بنت أبى بكر دخلت على رسول الله (ص) و عليها ثياب رقاق, فأعرض عنها رسول الله (ص) و قال: ياأسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا و هذا (وأشار الى وجهه و كفيه)
Artinya: Aisyah ra., berkata bahwa Asma putri Abu Bakar ra, datang menemui Rasulullah saw., dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah saw., berpaling enggan melihatnya dan bersabda: “hai Asma, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini “ (sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau). (HR. Abu Daud dan al-Baihaqi)[11].
4. Perzinaan harus dijauhi, sebagaimana firman Allah,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلً
Dan janganlah dekat-dekat pada zina karena itu adalah fahisyah (kekjian) dan jalan (perbuatan) yang jelek”. (al-Isra: 32).
Sejumlah mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud mendekati zina adalah seperangkat niat, perkataan dan perbuatan yang mendorongke arah zina. Termasuk dalam kategori zina adalah sengaja berduaan antara laki-laki dan perempuan, mengucapkan ungkapan-ungkapan yang merangsang, mempertontonkan bagian-bagian yang merangsang baik secara langsung maupun melalui gambar-gambar porno yang merangsang birahi
5. Hukuman berat bagi pezina.
Hukuman bagi para pezina amat berat ada yang dengan rajam untuk zina muhshan dan ada yang dengan deraan untuk zina ghair muhshan. Rajam diterangkan dalam hadis ketika seseorang mendatangi Rasulullah dan secara terus terang dia mengaku sudah melakukan perzinaan. Setelah dibuktikan dengan mengucapkan syahadat empat kali maka Rasul bersabda:
ياأنيس على امرأة هذا فإناعترفت فارجمها
“ yaa Unais pergilah pagi ini menemui istri orang ini, jika ian mengaku maka rajamlah”. (HR. Ibnu Majah)[12].
Dalam surat al-Nur disebutkan untuk zina ghair muhshan sebagai diterangkan berikut:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing seratus kali deraan , dan janglah mengambil kasian terhadap mereka dengan agama Allah (ini), bila kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan saksikanlah (dalam melaksanakan) hukuman kepada mereka segolongan orang beriman”. (al-Nur: 2).
6. Pelaku perzinaan (porne) kehilangan martabat diri
Suatu hadis diterima dari Hudzifah bahwa Nabi saw bersabda:
“Wahai manusia, hati-hatilah (takutlah) pada zina, Karena (bila dilakukannya) ada enam macam siksa. Tiga macam siksa di dunai dan tiga lagi di akhirat. Siksa di dunia adalah: Akan kehilangan kehebatan (martabat baik dirinya, mengakibatkan kesengasaraan, dan akan berumur pendek (cepat mati). Sementara itu tiga siksa di akhirat ialah: Kemurkaan Allah swt, hisaban yang jelek, dan siksa neraka”.
Semua ayat-ayat al-Quran dan hadis di atas agar seseorang tidak dengan mudah melakukan perzinaan atau berbuat porno. Dimulai dengan memelihara diri dari pergaulan, obrolan, sampai kepada perilaku yang membawa kepada perzinaan seperti berdekatan dengan perempuan dan lain-lain. Maka pornografi dan pornoaksi yang merupakan penggambaran lewat tulisan, lukisan, bahkan langsung peragaan sipelaku merupakan perbuatan haram. Bagi perbuatan pornografi dan pornoaksi ini belum ada landasan hukumnya (hudud) dalam al-Quran dan hadis secara eksplit dan rinci, maka pemerintah berkewajiban menetapkan ta’zir lewat undang-undang dan itu merupakan hak kaum muslimin yang mayoritas dan hak pemerintah Republik Indonesia yang dijamin UUD. Segala produk hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma Ilahiyah, sebagaimana tercantum pada pasal 29.
Tidak ada ketentuan secara eksplisit dalam hudud Islam bagi para pelaku pornografi dan pornoaksi. Bila perbuatan porno bisa mendapat hudud dengan rajam atau dera, tetapi yang penggambaran belaka diserahkan kepada pemerintah untuk menetapkan keputusan hukumnya, yang dalam bahasa fikih disebut ta’zir. Ta’zir tersebut berat dan ringannya diserahkan kepada telaah hakim yang ketentuan bisa dengan penjara atau hukuman lain yang setimpal yang mungkin disertai dendaan berupa material. Dalam KUHP sekarang sudah ada pasal 282 dan 283 tentang pelanggaran kesusilaan. Bila dapat dilaksanakan dapat mencegah kriminalitas yang disebabkan pornografi dan pornografi. Dengan adanya RUU APP, akan lebih dieksplisitkan, sehingga kepastian hukumnya ke depan lebih eksplisit.
C. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Pornografi-Pornoaksi
Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) merupakan rancangan produk hukum yang diusulkan oleh DPR pada tanggal 14 Pebruari 2006, yang secara anatomis-fungsional terdiri dari 11 bab dan 93 pasal (pra revisi) yang mengatur masalah pornografi dan pornoaksi. Draf RUU APP ini merupakan warisan dari komisi VI DPR periode 1999-2004. RUU APP dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap segala bentuk kejahatan (kelamin) serta menciptakan ruang kehidupan yang lebih berbudaya dan bermoral.
Kehadiran RUU APP, serta merta mengundang berbagai tanggapan yang bernada pro dan kontra. Menurut kalangan yang pro dengan RUU APP, regulasi ini dianggap penting sebagai penjaga moral ditengah arus globalisasi dan budaya permisif. Kelompok yang tergabung dalam kubu pro ini biasanya dari kalangan agamawan, pendidik, orang tua dan santri. Sementara yang kontra di antaranya para pebisnis, pelaku, pemilik media, seniman, artis dan pegiat perempuan melihat regulasi ini hanya akan memasung kreativitas seniman, memenjarakan perempuan, dan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan dari pada memberi perlindungan hukum.
Munculnya perlakuan yang tidak sejajar terhadap perempuan dalam perkembangannya di era modern ini dinilai sangat bertentangan dengan misi luhur dalam deklarasi HAM universal yang seniscayanya diakui oleh tiap-tiap negara di dunia ini. Oleh beberapa pihak dikatakan, jika menggunakan pendekatan HAM, maka seksualitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hak dasar semua manusia, yang mencakup hak dasar semua manusia, hak untuk mempunyai dan mengekspresikan identitas seksual, serta hak untuk memegang kendali atas seksualitas pribadi tanpa diskriminasi dan kekerasan. Menggunakan acuan ini, maka RUU APP sangat bertentangan dengan HAM.
Opini yang mengatasnamakan HAM ini seringkali melupakan substansi RUU ini dibuat, bahwa semua aksi-aksi sebagai pornografi-pornoaksi adalah memasuki ruang publik dan meresahkan masyarakat. Peran negara untuk membuat regulasi yang bermaksud untuk menghormati HAM di satu sisi dan moralitas atau norma-norma sosial di sisi lainnya, agar masyarakat dapat hidup teratur an terciptanya soliditas kelompok atau masyarakat tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka rancangan regulasi tentang pornografi-pornoaksi ini, sesuai dengan ketentuan dalam bagian menimbang disebutkan bahwa meningkatnya pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi serta penyelenggaraan pornoaksi dalam masyarakat saat ini sangat memprihatinkan dan dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai ketuhan yang Maha Esa.
Pencegahan juga dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Sakhyan Asmara mengemukakan bahwa “agama merupakan salah satu faktor utama yang dapat memberantas, mencegah, menanggulangi pornogarafi-pornoaksi, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan diantaranya adalah: menambah jam tatap muka materi pelajaran agama dan memasukan nilai-nilai agama pada seluruh materi pelajaran, mengajukan program tayangan pendidikan umum dan pendidikan Agama ke media Televisi, menertibkan cara berpakaian dan bau sekolah peserta didik; menambah atau memberikan kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Langkah-langkah kegiatan tersebut bertujuan untuk: meningkatkan keimanan dan ketaqwaan; meningkatkan kualitas moral dan akhlak; mencerdaskan kualitas fisik, mental, moral, akhlak dan sosial; mencegah dekadensi moral dan akhlak peserta[13].
Berangkat dari kenyataan inilah, maka penyadaran terhadap masyarakat terhadap bahaya pornografi-pornoaksi ini tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Harus terorganisir, terus menerus, dan tidak kenal lelah. Untuk hal itulah antara lain, Perhimpunan Masyarakat tolak pornografi lahir pada tanggal 26 Juli 2000 dan telah dikukuhkan dalam akte notaris No. 3, tertanggal 31 Mei 2005. Awalnya Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) berupa konsorsium; dideklarasikan oleh 19 organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka itu antara lain Media Ramah Keluarga (MARKA), Pusat advokasi hukum dan HAM, kasatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan sebagainya[14].
Secara garis besar, kegiatan MTP meliputi dua aspek; kampanye penyadaran tentang bahaya pornografi-pornoaksi ke masyarakat dan perjuangan regulasi/hukum kepada pemerintah dan DPR. Kampanye kepada masyarakat telah dilakukan, antara lain memberikan penyadaran masyarakat melalui media massa, forum-forum diskusi, seminar-seminar, membuat surat protes di media Massa bila ada tayangan yang cenderung pornografis, melakukan audiensi dengan instansi terkait seperti media massa, dewan pers, serta melakukan gerak spanduk tolak pornografi dan juga demonstrasi-demonstrasi.
Secara hukum, perjuangan yang tengah diupayahkan adalah mendesak lahirnya regulasi tentang hal tersebut. Karena gerakan penyadaran pada masyarakat tentang bahaya pornografi-pornoaksi tanpa diikuti dengan regulasi maka tidak efektif karena sesaat masyarakat tersadar, namun sedetik kemudian akan hancur oleh terpaan gelombang materi pornografi.
Regulasi ini penting hadir di Indonesia, dalam upaya melindungi seluruh masyarakat, khususnya anak-anak, remaja dan perempuan.Apalagi Indonesia merupakan masyarakat yang religius, multikultural, berakhlak mulia, berkepribadian luhur dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam wacana yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pornografi adalah tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat dan membacanya. Sedangkan pornoaksi adalah suatu penggambaran aksi gerakan yang dapat memancing bangkitnya nafsu seksual
Pornografi dan pornoaksi dalam RUU APP adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film atau video, terawang, tayangan, atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan/atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku dan seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain.

2. Hukum Islam secara tegas mengatur bagaimana cara orang memelihara tubuh. Tubuh adalah amanah Allah yang wajib dipelihara oleh setiap insan demi menjaga kehormatan.Salah satu upaya memelihara kehormatan diri adalah mencegah dan memberantas maraknya pornografi-pornoaksi.Pornografi-pornoaksi dalam Islam masuk dalam kategori zina dan Islam melarang sekedar mendekatinya :
wur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ
Sejumlah mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud mendekati zina adalah seperangkat niat, perkataan dan perbuatan yang mendorong ke arah zina. Termasuk dalam kategori zina adalah sengaja berduaan antara laki-laki dan perempuan, mengucapkan ungkapan-ungkapan yang merangsang, mempertontonkan bagian-bagian yang merangsang baik secara langsung maupun melalui gambar-gambar porno yang merangsang birahi.

3. Upaya mencegah dan memberantas pornografi-pornoaksi adalah
a. Secara hukum, mendesak lahirnya regulasi tentang hal tersebut. Karena gerakan penyadaran pada masyarakat tentang bahaya pornografi-pornoaksi tanpa diikuti dengan regulasi maka tidak efektif karena sesaat masyarakat tersadar, namun sedetik kemudian akan hancur oleh terpaan gelombang materi pornografi. Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap segala bentuk kejahatan (kelamin) serta menciptakan ruang kehidupan yang lebih berbudaya dan bermoral.
b. Pencegahan juga dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Maka langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan diantaranya adalah: menambah jam tatap muka materi pelajaran agama dan memasukan nilai-nilai agama pada seluruh materi pelajaran, mengajukan program tayangan pendidikan umum dan pendidikan Agama ke media Televisi, menertibkan cara berpakaian dan bau sekolah peserta didik; menambah atau memberikan kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Langkah-langkah kegiatan tersebut bertujuan untuk: meningkatkan keimanan dan ketaqwaan; meningkatkan kualitas moral dan akhlak; mencerdaskan kualitas fisik, mental, moral, akhlak dan sosial; mencegah dekadensi moral dan akhlak peserta.
c. Penyadaran terhadap masyarakat terhadap bahaya pornografi-pornoaksi ini tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Harus terorganisir, terus menerus, dan tidak kenal lelah.






DAFTAR PUSTAKA

Burhan Bungin, Pornomedia: Konstruksi Sosial Tekhnonolgi Telematika & Perayaan Seks di Media massa , Cet.I; Bogor: kencana, 2003.
Hasan Hathout, Panduan seks Islami, Jakarta: Zahrah, 2008.
http://riani.brainuse.com/tulisan-di-media/fenomena-pornografi-dan-pornoaks. htm.
http://www.indomedia.com/bpost/022006/19/ragam/ragam1.ht
Majalah pantau, Nomor 21 Januari 2002
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Neng Djubaedah, Pornografi dan pornoaksi ditinjau dari segi Hukum, Jakarta: Kencana,203.
Purwadarminta, KAMUS besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, Pasal I, Bab I Ketentuan Umum, http://ruuappri.blogsome.com/category/I/32
Sayuti Thalib, Receptioa Contrario, Cet. III, Jakarta: Bina Aksara, 1982.
Siti Musdah Mulia, Menolak Pornografi:memberdayakan Perempuan,dalam Jurnal umum studi Keislaman Ulumuna, vol.x, No.2, Edisi Juli-Desember 2006.

[1] Siti Musdah Mulia, Menolak Pornografi:memberdayakan Perempuan,dalam Jurnal umum studi Keislaman Ulumuna, vol.x, No.2, Edisi Juli-Desember 2006, h. 237-238.
[2] Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan, pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.Purwadarminta, KAMUS besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.696.
[3] Majalah pantau, Nomor 21 Januari 2002
[4] Burhan Bungin, Pornomedia: Konstruksi Sosial Tekhnonolgi Telematika & Perayaan Seks di Media massa , ( Cet.I; Bogor: kencana, 2003), h. 154-155
[5] RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, Pasal I, Bab I Ketentuan Umum, Lihat http://ruuappri.blogsome.com/category/I/32
[6] Neng Djubaedah, Pornografi dan pornoaksi ditinjau dari segi Hukum,(Jakarta: Kencana,203), h.138.
[7] Kata ketimuran yang dimaksud adalah manusia sebagai individu yang dimana bangsanya memiliki norma, etika, adat istiadat, kebiasaan, akhlak, watak, dan cara berpikir yang sangat kaku, ni karena dipengaruhi oleh perjalanan sejarah kebudayaan bangsa dan nilai-nilai agama yang banyak mempengaruhinya.
[8] http://www.indomedia.com/bpost/022006/19/ragam/ragam1.ht

[9] Hasan Hathout, Panduan seks Islami,( Jakarta: Zahrah, 2008), h. 156
[10] Ibid, h.26
[11] Sunan Abi Daud, Tahqiq Muhammad ‘Abdul ‘Aziz al-Khalidi, Beirut: Dar ihya as-Sunnah an-Nabawiyah, Jilid III, Hadis no.4104.
[12] Abdullah Shonhaji dkk, Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Jilid 3 (Semarang; Asy-syifa, 1993), h.347
[13] http://riani.brainuse.com/Tulisan-Di-Media/Fenomena-Pornografi-Dan-Pornoaks.htm.
[14] Ibid

Konflik dan ketegangan dalam hukum Islam

KONFLIK DAN KETEGANGAN DALAM HUKUM ISLAM:
Antara Idealisme dan Realisme
Oleh Rahmawati

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu fenomena yang menarik dan dapat dengan mudah terlihat dalam hukum Islam adalah adanya beberapa konsep yang berpasang-pasangan, misalnya konsep tentang zahir dan batin, muhkamat dan mutasyabihat, qat’i dan zanni, akal dan wahyu, serta idealis dan realis dan sebagainya. Persoalannya yang mungkin timbul adalah bagaimana memahami dan mendudukkan konsep-konsep tersebut secara proporsional. Sebab, mungkin ada pihak yang melihat secara dikotomis fenomena konsep yang berpasang-pasangan tersebut. Apakah kita dapat berkata bahwa tidak ada dikotomi di antara konsep-konsep yang berpasangan itu. Suatu hal patut dicermati ialah apa yang telah dilakukan oleh Noel J. Coulson dalam bukunya Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, yang pada mulanya merupakan bahan-bahan kuliah berserinya di Chicago University, Amerika Serikat.
Dalam pendahuluan tulisannya itu, Coulson terlebih dahulu berbicara tentang konflik dan ketegangan yurisprudensi Barat yang pada pokoknya merupakan produk dari berbagai macam filsafat hidup dan ideologi politik yang telah menemukan polanya dalam peradaban Barat, dan berbeda pandang tentang nilai-nilai tertinggi dan tujuan hidup manusia. Tetapi pertanyaan fundamental tentang hukum Islam, kata dia, dijawab untuk yurisprudensi Islam, dalam arti yang tidak ada kompromi, menurut keyakinan agama itu sendiri. Hukum adalah sistem tentang perintah-perintah Tuhan yang ditentukan secara ketuhanan. Menolak prinsip ini pada dasarnya berarti meninggalkan keimanan dalam Islam.[1]
Selanjutnya, Coulson memberi pengertian yurisprudensi Islam sebagai keseluruhan proses aktivitas intelektual yang memastikan dan menemukan istilah kehendak Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam suatu sistem hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanakan. Dan di dalam inilah terdapat istilah-istilah referensi yang ketat dan menimbulkan konflik dan ketegangan.[2] Jadi, Coulson melihat munculnya konflik dan ketegangan dalam hukum Islam pada apa yang dia pahami sebagai upaya untuk memahami kehendak Tuhan yang dilakukan oleh para ulama Islam. Dan oleh Coulson, konflik itu dikatakan bermula dari konflik antara wahyu dan akal, kemudian merembet kepada persoalan kestuan dan keragaman, otoritas dan kebebasan, idealisme dan realisme, hukum dan moralitas, serta stabilitas dan perubahan.[3]
Akan tetapi, di tempat lain, coulson mengatakan bahwa memang hubungan masing-masing kutub tersebut tampak berbeda, dan bahkan bertentangan. Namun jika dicermati akan dapat dipahami bahwa masing-masing secara simbolis saling berhubungan dan bersifat komplementer, dan bukan saling bertentangan.[4]
Bertolak dari pandangan coulson yang berbeda tersebut, di satu tempat ia mengatakan adanya konflik dan ketegangan dalam hukum Islam , tetapi di tempat lain ia mengatakan bahwa pertentangan itu tidak ada karena masing-masing berhubungan secara simbolis dan bersifat komplementer, maka menarik untuk dibahas bagaimana sebenarnya hakekat hukum Islam dalam hubungannya dengan idealisme dan realisme, apakah ada atau tidak ada konflik dan ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam, dan kalau ada bagaimana menyelesaikan konflik dan ketegangan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka masalah yang perlu dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana konflik dan ketegangan dalam hukum Islam antara realisme dan idealisme dengan sub masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konflik dan Ketegangan Antara Idealisme dan Realisme dalam Hukum Islam?
b. Bagaimana upaya penanggulangan konflik dan ketegangan dalam hukum Islam?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa Inggris Conflict yang memiliki arti percekcokan, konflik, perselisihan, pertentangan[5]. Dari pengertian ini tampak bahwa konflik adalah pertentangan yang melibatkan dua pihak atau dua hal karena saling berbeda atau karena disebabkan perbedaan pandangan.
Menurut Masdar farid Mas’udi, konflik dapat dibagi menjadi dua, konflik horisontal dan vertikal. Konflik horisontal yaitu konflik antara agama, etnis, dan sebagainya. Sedangkan konflik vertikal biasanya terjadi antara pihak yang dieksploitir, antara penguasa dan dikuasai. Khusus konflik jenis yang pertama cenderung berdampak negatif. Sedangkan konflik jenis kedua tidak selamanya berdampak negatif, bahkan terkadang diperlukan untuk sebuah perubahan. Hanya saja harus disertai mekanisme supaya tidak menimbulkan dampak penghancuran[6].
Dalam hal ini harus diperbolehkan dengan baik, agar tidak sampai melibatkan aksi-aksi kekerasan. Konflik ini harus dikelola dalam bentuk yang lebih beradab. Konflik harus dibatasi pada perbedaan kepentingan yang kemudian diartikulasikan dalam perdebatan wacana. Konflik sendiri memang tidak bisa dihindari dalam kehidupan manusia, karena dapat menjadi energi perubahan. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik ditinjau dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Sedangkan jika ditinjau dari situasinya, menurut Coser, konflik terdiri dari konflik yang realitis dan konflik yang tidak realitis. Konflik yang realitis berasal dari kekecewaan terhadap tuntunan-tuntunan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan dan keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukkan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik yang tidak realitis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak[7].
Berkaitan dengan judul makalah yang dipaparkan dari pengertian konflik tersebut menunjuk kepada konflik sosial. Tetapi yang dimaksudkan dalam makalah ini pengertian konflik yang dimaksudkan adalah konflik atau pertentangan antara realisme dan idealisme yang terdapat dalam hukum Islam yang seharusnya atau yang dicita-citakan dengan hukum yang senyatanya.

B. Ketegangan Antara Idealisme dan Realisme dalam Hukum Islam
Menurut Coulson fuqaha pada masa awal dalam mazhab hukum merupakan orang-orang yang berpandangan praktis. Ia menegaskan bahwa dengan perdebatan yurisprudensi yang dimulai pada awal abad ke delapan dan akhirnya menghasilkan teori tentang sumber-sumber hukum, menimbulkan pengertian bahwa syari’ah merupakan sistem perintah-perintah Tuhan yang menyeluruh dan ditetapkan lebih dulu, suatu sistem hukum yang memiliki eksistensi independen dari masyarakat tidak timbul dari masyarakat tetapi diturunkan kepada masyarakat. Penemuan hukum murni, begitu yang dirasakan, merupakan tugas yang paling baik yang dilakukan secara terpisah dari praktek. Kemudian yurisprudensi Islam secara esensial menjadi ilmu instrokpeksi yang membicarakan perluasan hukum syari’ah murni secara abstrak dan suka meninggalkan urusan duniawi bagi pelaksanaan ajaran yang dijelaskan kepada pejabat negara.Idealisme fuqaha pada abad ini yang mengadopsi tugas penasehat spiritual bagi penyadaran Islam dari para pelaksana praktis urusan-urusan itu, menciptakan suatu perbedaan yang nyata antara dokrin hukum dan praktek hukum maupun antar tugas fuqaha maupun tugas hakim. Karena itu dalam Islam ada ketegangan khusus antara teori hukum dan realitas sosial[8].
Konsep syari’ah sebagai sistem perintah-perintah Tuhan yang ditentukan lebih dahulu dan sebagai sistem yang tidak tumbuh dari masyarakat tetapi diturunkankepada masyarakat bukanlah karya baru tetapi membentuk dasar-dasar syari’ah sebagai mana diajarkan oleh Nabi dan para sahabat terutama khulafaur Rasyidin yang ortodoks. Syari’ah merupakan hukum Allah dan merupakan suatu standar untuk menentukan tindakan-tindakan manusia yang harus dijaga bentuk idealnya dan tidak ditentukan kenyataan-kenyataan sosial yang tunduk pada perubahan. Realitas sosial yang ditekankan Coulson tidak lain adalah suatu gejala yang berubah sedangkan syari’ah ada sejak lama.Haruskah diubah menurut konsep perubahan realitas? Hukum Allah selamanya harus tidak berubah sebagai suatu pola yang harus diikuti apa adanya sesuai dengan QS.7:3.
Coulson sepertinya ingin menguji sejauh mana doktrin murni dapat diterjemahkan dalam praktek riil yang ada di masyarakat. Seberapa jauh realits hukum dalam Islam sesuai dengan sistem ideal syari’ah seperti telah diuraikan secara rinci oleh para ahli hukum. Yang harus dipertimbangkan dalam penerapan hukum Islam adalah bagaimana para ahli hukum memvisualisasikan hukum syari’ah tersebut agar bisa dijalankan. Pola apa yang diajukan oleh para ahli hukum berkenaan dengan konstitusi pengadilan, prosedur peraturan-peraturan dan bukti yang seharusnya mereka ikuti dalam memutuskan hukuman[9].
Contoh yang dikemukakan Coulson adalah Pembuktian perbuatan zina yang mengharuskan ada 4 orang saksi yang memenuhi syarat, laki-laki, dewasa, dan sangat dibutuhkan saksi yang melihat dengan mata kepala mereka sendiri perbuatan jasmaniah para pelaku tersebut. Tetapi dalam praktek dan khususnya dalam lapangan hukum pidana secara umum, peraturan kesaksian meletakan suatu beban yang tidak realistik terhadap proses-proses perbuatan tersebut.Dan ini merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tertuduh, yang kesalahannya layak pasti namun belum ditetapkan pembuktian hukum yang diwajibkan, menolak untuk mengucap sumpah pengingkaran ketika ditawarkan kepada mereka.
Contoh lain yang dikemukakan Coulson adalah penuntutan dalam kasus pembunuhan agar dapat mengajukan 2 orang saksi yang memenuhi syarat untuk memberi kesaksian, bahwa mereka mendengar suara perlawanan yang keras dalam rumah, mereka melihat terdakwa muncul dari dalam rumah, dengan pisau berlumuran darah ditangannya dan rumah itu kosong kecuali jasad korban. Namun doktrin syari’ah melarang hakim untuk menarik kesimpulan dari fakta ini bahwa terdakwa adalah seorang pembunuh. Bukti seperti ini merupakan istilah dari kecurigaaan. Ini dapat menghasilkan kepastian terdakwa bersalah jika didukung oleh sumpah 50 orang penguat yang dilakukan oleh famili korban dan mengucapkan sumpah kesalahan terdakwa atau sebaliknya[10].
Dalam kasus-kasus kesaksian yang bertentangan tersebut nampak bahwa idealisme doktrin sangat jelas. Jika qadi merasa tidak dapat menghadirkan keputusan yang benar berdasar bukti-bukti yang disodorkan, ia diijinkan untuk tidak memberi suara dalam keputusan. “Jika tidak ada indikasi positif yang nampak dihadapannya,” tulis seorang ahli hukum , “lalu biarkan dia meninggalkan kasus itu dan menghentikan keputusan, karena ada keraguan dalam hatinya.
Ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam secara sederhana dapat diungkapkan dalam adanya perbedaan antara doktrin hukum dan praktek hukum. Demikianlah gambaran Coulson.Kritikan beliau tersebut juga telah mendapatkan tanggapan dari kaum intelektual Islam
Intelektual Islam yang cukup gencar dalam menanggapi pandangan Coulson tersebut adalah Muslehuddin. Muslehuddin menganggap bahwa Coulson telah bertindak salah dalam menilai hukum Islam. Coulson hanya melihat hukum pada pendapat-pendapat hakim.Rupanya dia melakukan ini dengan sengaja atau sebagai akibat ketidak tahuannya tentang hukum. Dia berusaha menunjukan bahwa hukum Islam tidak realistis dan susah diterapkan, padahal hukum Islam merupakan hukum yang paling lengkap dan sempurna.[11]
Ahmad Rafiq dalam menanngapi bantahan Muslehuddin tersebut, menilai bahwa diskusi muslehuddin menanggapi pemikiran Coulson tersebut menunjukan bahwa ia termasukpemikir yang menonjol sikap apologetiknya. Menurutnya, bagaimanapun usaha Coulson yang mencoba mereduksi hukum Islam kedalam tingkatan murni yurisprudensi, yang karenanya akan senantiasa mengalami perubahan, sumbangan pemikirannya patut dipertimbangkan. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa hukum Islam sebagai aktivitas penalaran manusia, dilaksanakan dalam rangka memformulasikan nilai-nilai dan norma-norma syari’ah menjadi aktual dalam masyarakat.

C. Upaya Penanggulangan konflik dan ketegangan dalam hukum Islam
Konflik dan ketegangan yang dikemukakan Coulson dalam sejarah hukum Islam, telah terjadi sewaktu terbentuknya code Napoleon. Pada masa itu, Code Napoleon dinilai sebagai karya agung yang dianggap mampu mengakomodir semua kasus-kasus hukum ketika itu. Olehnya itu, hakim masa itu dianggap hanya sebagai mulut Undang-undang. Kepuasan itu hanya berlangsung sesaat, karena ternyata kemudian dirasakan Code Napoleon itu banyak kekurangannya ketika berhadapan dengankasus-kasus konkrit di pengadilan. Pada waktu itu disadari bahwa tidak mungkin hanya menerapkan begitu saja pasal-pasal yang baku dan statis pada kasus-kasus manusiadalam masyarakat yang bergerak dinamis.[12]
Upaya penanggulangan konflik tersebut, ditempuhlah upaya-upaya mendekatkan hukum ideal kepada realitas. Dipakailah penafsiran dengan macam-macam istilah seperti pengahalusan hukum, penemuan hukum dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi rasa kepuasa dan rasa keadilan.Konflik dan ketegangan antara ideal hukum dan pelaksanaanya dalam masyarakat berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut karena kenyataan selalu adanya perubahan dalam masyarakat, lebih-lebih diera globalisasi sekarang ini[13].
Kesenjangan antara idealitas dan realitas dalam hukum Islam misalnya yang sering diangkat dalam masalah yang terkait dengan keudukan perempuan. Selama ini sebagian masyarakat muslim menilai bahwa terkesan ada ketidak sesuaian antara cita-cita Islam untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dengan kenyatan yang dihadapi oleh kaum muslimah diberbagai negeri Islam.
Adanya realitas tersebut dan juga pada berbagai bidang kehidupan lainnya, telah mendorong dicetuskannya ide-ide pembaharuan oleh beberapa kalangan pemikir Islam. Seperti diketahui, sekitar dua abad terakhir ini, dikalangan umat Islam muncul gerakan-gerakan pembaruan pada berbagai lapangan dan bidang kehidupan.
Gerakan-gerakan tersebut merupakan hasil refleksi kesadaran umat terhadapkebekuan dan kejumudan sejarah Islam selama beberapa abad lamanya yang dengan sendirinya menimbulkan kegelisahan intelektual di kalangan generasi muda Islam. Maka bermunculanlah tokoh-tokoh maupun kelompok cendekiawan Islam yang berusaha mendobrak kebekuan sejarah dan mencita-citakan terwujudnya relevansi antara Islam dan pemikiran abad modern. Mereka menggagas kebangkitan Islam dengan menawarkan ide-ide mengenai reformasi pemikiran Islam.[14]
Dalam bidang hukum, upaya pemnaharuan dilakukan akibat munculnya kesenjangan antara materi hukum, seperti fiqih, dengan kenyataan sosial.Sasaran utama dari upaya ini ini adalah gugatan perlunya rujukan fikih pada sumber-sumbernya dengan komitmen menghilangkan otoritas yang berlebihan terhadap ulama-ulama abad pertengahan.[15] Melalui sarana ijtihad, pengembangan materi-materi hukum Islam dapat dilakukan untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan diberbagai daerah dan kenyataan-kenyataan sejarah yang senantiasa berubah. Berarti, berupaya memunculkan ide-ide baru dalam rangka menyikapi perkembangan zaman.
Jelaslah, upaya pembaharuan hukum Islam antara lain ditandai dengan upaya peninjauan ulang terhadap materi-materi fikih yang didasarkan atas penafsiran kembali terhadap nash. Hal ini dilakukan karena mengingat hasil penafsiran ulama-ulam terdahulu sangat kental dengan kondisi zamannya yang sudah tentu berbeda dengan kondisi masa kini.Jadi, pembaruan diperlukan untuk pengaktualisasian ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan aturan-aturan hukum sebagaimana terkandung dalam nash. Dalam hal ini, tidak berarti merubah atau meninggalkan nash-nash al-Qur’an atau hadis Nabi, namun sekedar memperbarui interpretasi terhadap nash-nash tersebut agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam memahami hukum Islam ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu :
Pertama, bahwa hukum Islam berdimensi ilahiyah karena diyakini sebagai ajaran yang bersumber dari yang maha suci, maha sempurna dan maha Benar. Dalam dimensi ini, hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran suci karena bersumber dari Yang Maha Suci, Maha Sempurna dan Maha Benar. Dalam dimensi ini hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran suci karena bersumber dari Yang Maha Suci an sakralitasnya senantiasa dijaga. Dalam pengertian seperti ini, hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang cakupannya sangat luas, tidak hanya terbatas dalam artian terminologi. Kedua, Hukum Islam berdimensi insaniyah. Dalam dimensi ini, hukum Islammerupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami ajaran yang dinilai suci dengan melakukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqashid .Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai produk pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal dengan sebutan ijtihad atau pada tingkat yang lebih tehnis disebut istinbat al-ahkam[16].
Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pengembangan melalui berbagai metode dan pendekatan yang senantiasa berpatokan pada nilai-nilai kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum Islam dalam rangka menjadikan hukum Islam agar dapat terus aktual dalam kehidupan umat Islam. Karena hukum sebagai refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai pranatadalam kehidupan masyarakat, berarti muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang bersifat kekinian,melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial,ekonomi, dan politik di masa depan. Pemikiran ini menunjukan bahwa hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mewujudkan cita-citanya[17].
Dalam rangka mengembangkan pemikiran dan studi hukum Islam dalam kehiduan masyarakat yang akan datang, sudah saatnya para pakar hukum Islam mempertimbangkan studi dan pemikiran hukum Islam dalam kerangka sosiologi dan pendekatan sejarah sosial. Artinya studi dan pemikiran hukum Islam mempelajari faktor-faktor sosial, politik dan kulturalyang melatar belakangi lahirnya suatu produk pemikiran hukum Islam dan dampaknya terhadap masyarakat. Serta adanya interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Karena itu, jika hukum Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap berbagai persoalan umat yang muncul karena perubahan zaman, maka hukum Islam tersebut harus dilakukan pembaruan untuk disesuaikan dengan perkembangan yang ada.
III. PENUTUP
1. Konflik memiliki arti percekcokan, konflik, perselisihan, pertentangan. Dari pengertian ini tampak bahwa konflik adalah pertentangan yang melibatkan dua pihak atau dua hal karena saling berbeda atau karena disebabkan perbedaan pandangan. Ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam secara sederhana dapat diungkapkan dalam adanya perbedaan antara doktrin hukum dan praktek hukum
2. Upaya penanggulangan konflik tersebut, ditempuhlah upaya-upaya mendekatkan hukum ideal kepada realitas. Dipakailah penafsiran dengan macam-macam istilah seperti pengahalusan hukum, penemuan hukum dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi rasa kepuasa dan rasa keadilan.Konflik dan ketegangan antara ideal hukum dan pelaksanaanya dalam masyarakat berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut karena kenyataan selalu adanya perubahan dalam masyarakat, lebih-lebih diera globalisasi sekarang ini





DAFTAR PUSTAKA
A Comparative Study Of Islamic Legal System (Lahore : Ashraq Mirza, Mg. Director, Islamic Publication Ltd. t.th
Coulson, Conflic and tension in Islamic Yurisprudence Edo Segara, Noel J. Coulson: Idealisme dan realisme (4), diposting pada Sunday, 6 April 2008. Diakses pada tgl 13 Mei 2008.
David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American language, The World Pblishing Company, Cleveland and New York, 1959
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam indonesia (Ed. I, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia (Jakarta ; PT. Rajagrafindo Persada, 2006
Juhaya S. Praja, “Kata pengantar dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam:Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia (Cet.I, Bandung: Pustaka Setia,2007
Margaret M.Poloma, Contemporery Sociological Theory,Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasoama dengan judul Sosiologi Kontenporer, (Ed.I, Cet IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000
Masdar Farid Mas’udi, Agama dalam Konflik Sosial, dalam M.Imdadun Rahmat (edit),Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas,Jakarta:Erlangga, 2003
Muhammad Muslehuddin, Philosofy of Islamic Law and the Orientalist
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
[1] Muhammad Muslehuddin, Philosofy of Islamic Law and the Orientalist
A Comparative Study Of Islamic Legal System (Lahore : Ashraq Mirza, Mg. Director, Islamic Publication Ltd. t.th.) h. 191.
[2] Ibid, h. 192
[3] Lihat, Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia (Jakarta ; PT. Rajagrafindo Persada, 2006), h. 233
[4] Ibid, h. 166
[5] David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American language, The World Pblishing Company, Cleveland and New York, 1959
[6] Masdar Farid Mas’udi, Agama dalam Konflik Sosial, dalam M.Imdadun Rahmat (edit),Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas,( Jakarta:Erlangga, 2003), h. 137-138
[7] Margaret M.Poloma, Contemporery Sociological Theory,Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasoama dengan judul Sosiologi Kontenporer, (Ed.I, Cet IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000), h. 110.
[8] Coulson, Conflic and tension in Islamic Yurisprudence h. 60-61
[9] Edo Segara, Noel J. Coulson: Idealisme dan realisme (4), diposting pada Sunday, 6 April 2008. Diakses pada tgl 13 Mei 2008.
[10] Ibid
[11] Muhammad Muslehuddin h. 214.
[12] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam indonesia (Ed. I, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 223
[13] Ibid.
[14] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 157.
[15]
[16] Juhaya S. Praja, “Kata pengantar dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam:Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia (Cet.I, Bandung: Pustaka Setia,2007), h. 5-6

Minggu, 01 Maret 2009

Metode Ijtihad Imam Gazali

METODE IJTIHAD IMAM AL-GAZALI DALAM
KITAB AL-MUSTASFA MIN ‘ILM AL-USÛL
Oleh : Rahmawati
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan kepada manusia agar tercipta kemaslahatan, baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Nas diturunkan dengan maksud menegakkan maqâsid al-syar’iyah, yaitu terpeliharanya kemaslahatan umum bagi manusia, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Setelah Rasulullah wafat, wahyu terhenti turun. Yang tinggal hanyalah catatan-catatan yang terkodifikasi dengan baik dalam mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab hadis. Sedang permasalahan yang dihadapi manusia terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Hal inilah kemudian menjadi sebuah permasalahan serius, bagaimana menjawab permasalahan manusia yang terus berkembang, sedang wahyu sebagai solusi utama dari permasalahan tersebut telah berhenti turun?
Demikianlah kemudian para ulama setelah Rasulullah berpikir keras untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang terus berkembang tersebut. Hingga kemudian ditemukan bahwa pada dasarnya, bentuk-bentuk firman Allah di dalam al-Qur’an terbagi kepada dua kategori[2]: pertama, nas yang sudah jelas artinya dan pasti arahnya sehingga tidak memungkinkan timbul arti dan pengertian lain, yang dapat diamalkan apa adanya, bentuk seperti ini dinamakan qat’i. Kedua, nas atau firman yang bentuknya umum dan tidak menunjukkan maksud yang pasti, bahkan memungkinkan lahirnya beberapa pengertian, dan pengamalan yang berbeda, bentuk kedua ini biasa disebut zanni. Bentuk terakhirlah yang kemudian memberi peluang kepada ajaran Islam agar tetap lentur dan fleksibel mengikuti perkembangan zaman melalui proses ijtih±d.
Sebagai sebuah solusi utama bagi ajaran Islam, upaya ijtih±d tentunya telah mendapat rekomendasi dari Rasulullah saw lewat hadis-hadis yang menegaskan hal tersebut. Bahkan dari ayat-ayat teguran dari Allah kepada beliau bisa menjadi salah satu indikasi kuat, bahwa bahkan ketika wahyu masih turunpun beliau telah melakukan upaya ijtih±d dan penalaran atas masalah yang dihadapi dengan potensi yang dimilikinya sebagai manusia.
Beberapa peristiwa pada masa nabi, juga menggambarkan ijtih±d yang dilakukan oleh beliau. Di antaranya kasus Umar bin Khattab yang mencium istrinya dalam keadaan berpuasa, kemudian menganggap puasanya menjadi batal karenannya. Ketika hal itu ditanyakan kepada nabi saw., nabi menganalogikan mencium istri dengan berkumur-kumur saat berpuasa. Nabi berkata: “Bagaimana pendapatmu, apabila engkau berkumur-kumur dengan air, apakah puasamu batal?”, Umar menjawab: “Menurut pendapatku, hal itu tidak membatalkan puasa”, lalu Rasulullah berkata: “Kalau begitu, teruskan puasamu!”.[3]
Pada masa nabi dengan kehidupan yang sederhana dan wahyu masih turunpun ijtih±d telah dilakukan, maka dapat dibayangkan pentingnya ijtihad pada masa-masa setelahnya, sekarang dan akan datang dengan berbagai masalah yang lebih rumit dan kompleks.[4] Sehingga menjadi sebuah keniscayaan, bahwa ijtih±d pada zaman modern merupakan suatu kebutuhan, bahkan sebuah keharusan bagi masyarakat Islam yang terus berkembang permasalahannya.
Semua aliran (mazhab) dalam hukum Islam sepakat bahwa permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ diselesaikan melalui ijtihad. Perbedaan di antara aliran-aliran ini hanyalah dalam urutan metode-metode yang digunakan, atau sebagian aliran menggunakan metode tertentu, tetapi aliran yang lain tidak menggunakannya.
Al-Gazali seorang pemikir hukum Islam ( ulama Islam) yang sangat berpengaruh dan diagungkan di dunia Islam. Ia adalah salah seorang tokoh yang paling lantang menyuarakan agar ijtihad dihidupkan kembali. Berkaitan dengan hal ini mengemukakan ide-idenya lewat karyanya al-Musta¡fâ min ilm al-U¡ul.

B. Permasalahan
Berangkat dari latar belakang di atas, permasalahan yang penting untuk dikemukakan dalam kajian ini adalah; bagaimana metode ijtihad al-Gazali dalam kitab al-Musta¡fâ min ilm al-U¡ul.? Dengan sub masalah sebagai berikut:
1. Siapa al-Gazali?
2. Bagaimana metode ijtihad al-Gazali dalam kitab al-Musta¡fa?


II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup al-Gazali
Al-Gazali[5] lahir di desa Gazalah dekat Tus tahun 450/1058 M dan meninggal juga dikota tersebut pada tahun 505H/1111M, dalam usianya 55 tahun., Ia berasal dari keluarga yang religius dan hidup sederhana. Pendidikan al-Gazali di masa kanak-kanak berlangsung di kampung halamannya.Setelah ayahnya wafat, ia dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya ntuk mengasuh mereka yaitu Ahmad bin Muhammad ar-Razikani at-Tusi ahli tasawwuf dan fiqhi dari Tus.
Setelah mempelajari dasar-dasar fikih di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasan fiqhinya dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Ismail bin Mus’idah al-Ismail. Sementara itu al-Gazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu imam Yusuf an-Nassaj al-Farmasi at-Tusi, ia juga belajar hadis pada banyak ulama hadis, seperti Abu Sahal Muhammad Abdullah bin Ahmad al-Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’I az-Zauzani dan lain-lain[6].
Pemikiran al-Gazali dalam bidang fiqhi meliputi banyak aspek, seperti politik, ibadah dan ushul fiqhi. Dalam aspek politik al-Gazali antara lain berpendapat bahwa kewajiban mengangkat seorang kepala negara didasarkan atas keharusan agama. Sebagai alasannya, ia menyatakan bahwa tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan materil dan duniawi yang tidak mungkin dapat dipenuhinya sendirian, tetapi lebih dari itu untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang bahagia diakhirat.
Selanjutnya al-Gazali berpendapat bahwa kerajaan merupakan anugerah Allah SWT yang diberikannya kepada siapapun yang dikehendaki –Nya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran ayat:26. Meskipun al-Gazali berpendapat bahwa kekuasaan kepala negara bersifat mutlak, al-Gazali mengemukakan sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi kepala negara agar tidak bertindak sewenang-wenang sebagai berikut: 1)Seorang yang dewasa, 2) berakal sehat,3) orang merdeka, 4) laki-laki, 5) keturunan quraisy, 6) memiliki pendengaran dan penglihatan yang sehat, 7) memiliki kekuasaan yang nyata, 8) memiliki hidayah, yaitu daya pikir dan daya rancang yang kuat, serta ditunjang dengan kesediaan bermusyawarah, 9) Memiliki ilmu pengetahuan, 10) bersifat warak, hidup secara bersih dengan kemampuan mengendalikan diri dari hal-hal yang terlarang dan tercelah.
Selanjutnya dalam bidang ushul fiqhi, al-Gazali mempunyai wawasan yang luas tentang masalah qiyas. Untuk pembahasan topik ini, ia menyusun sebuah kitab khusus berjudul Syifa’ al-Galil (obat bagi orang yang dengki). Di dalam kitab ini uraian teoritis tentang kaidah ushul fiqhi disertai dengan contoh-contoh praktis. Bahkan untuk menambah uraiannya al-Gazali sering menambah dialog imajiner.Umpamanya mengemukakan kaidah bahwa ‘illat hukum dapat ditetapkan dengan adanya isyarat dalam nas, seperti adanya huruf fa yang mengiringi suatu perbuatan.Contohnya dalam QS.al-Maidah :6. mengatakan bahwa shalat menjadi ‘illat yang menyebabkan perbuatan berwudhu.Wudhu diwajibkan karena seseorang akan melaksanakan shalat. Oleh karena itu orang yang berhadas tidak wajib wudhu kalau tidak shalat.
Dari sekian banyak guru dan pengetahuan yang diterima al-Gazali, dapat dipahami ia seorang pemuda yang tekun dan memiliki minat yang besar terhadap ilmu. Ia berusaha mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak.Selain itu ia mahir berbicara dan produktif dalam menulis.

B. Karya Tulis
Al-Gazali adalah seorang penulis yang produktif. Banyak buku yang ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain tentang ushul fiqhi: diantaranya : al-Mankhûl min Ta’lîqât al-Usûl (pilihan yang tersaring dari noda-noda usul fiqhi), Syifâ al-Ghalîl fî Bayân asy-Syabah wa al-Mukhîl wa Masâlik at-Ta’lîl , Tahzîb al-usûl (Elaborasi terhadap ilmu usûl fiqhi, dan al-Mustasfâ min ‘ilm al-Usûl (pilihan dari ilmu ushul fiqhi).

C. Metode Ijtihad Imam al-Gazali dalam Kitab “al-Musta¡fa”.
Abu hamid al-Gazali menyimpulkan bahwa ijtihad secara bahasa berarti بذل الجهود و استفراغ الوسع في فعل من الأفعال “melakukan usaha keras dan memaksimalkan upaya dalam salah satu perbuatan”, dan menurut defenisi kaum ulama, ijtihad adalah ( بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشريعة) usaha keras yang dilakukan mujtahid dalam mencari ketentuan-ketentuan hukum syari’at. Menurut al-Gazali usaha ada yang bersifat penuh dan bersifat tidak penuh.
Ijtihad penuh (ijtihad tam ) ialah “usaha keras yang dilakukan dalam mencari sehingga yang bersangkutan merasa dirinya tidak mampu mencari lebih dari itu”[7] . Ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid adalah dalam semua ketentuan hukum syar’I (sah secara agama) yang tidak mempunyai dalil qath’i ( و المجتهد فيه كل حكم شرعى ليس فيه دليل قطعى ). Disini ketentuan hukum syar’I dibedakan dari ketentuan aqliyyat dan masalah kalam (teologi)[8]. Ketentuan hukum yang dimaksud adalah menngenai masalah-masalah yang tidak mendapat dosa bila ijtihad dilakukan. Sebaliknya, dalam masalah-masalah yang mempunyai dalil qath’i, maka ijtihad tidak dapat dilakukan, dan bila salah dalam hal itu mendapat dosa[9].
Al-Gazâli mengatakan bahwa seorang mujtahid harus mempunyai kemampuan intelektual untuk memahami syara’ sehingga ia dapat membangkitkan stimulus §ann (opini yang lebih dekat kepada kebenaran) dengan mengamati permasalahan, mendahulukan apa yang harus didahulukan dan mengakhirkan apa yang harus diakhirkan. Ia juga merupakan seorang adil yang menjauhi kemaksiatan agar fatwa atau hasil mujtihadnya dapat diandalkan. Ijtihad atau fatwa orang yang tidak adil tidak dapat diterima. Penguasaan intelektual dan keharusan adil dijelaskan oleh al-Gazali dalam delapan butir. Dua butir pertama merupakan pendahuluan; dua butir selanjutnya sebagai pelengkap; dan empat butir terakhir sebagai moderasi[10].
1. Kitab (Qur’an): seorang mujtahid tidak diharuskan untuk mengetahui seluruh kandunganya, tetapi cukup hal-hal yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum saja, yang berjumlah lebih kurang 500 ayat.(b) ia tidak perlu menghafalnya di luar kurang 500 ayat. (b) Ia tidak perlu menghafalnya di luar kepala, tetapi cukup mengetahui di mana ayat-ayat tersebut ditemukan dalam Kitab sehingga mudah dirujuki bila dibutuhkan.
2. Sunnah: (a) Ia harus mengetahui hadits-hadits yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum, yang jumlahnya beribu-ribu. Walaupun beribu-ribu, tetapi ia tidak harus mengetahui hadits-hadits tentang nasehat keagamaan (المواعظ), ketentuan-ketentuan hukum mengenai akhirat dan lain-lain yang tidak menyangkut hukum. (b) Ia tidak perlu menghafalnya diluar kepala, tetapi cukup mempunyai buku-buku hadits-hadits sahih yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum sehingga ia dapat mencari hadits-haditsyang dimaksud sewaktu dibutuhkan. Bila ia menghafalnya, maka itu lebih baik dan lebih sempura, tetapi tidaklah merupakan syarat.
3. Ijma (konsensus): Ia harus mengetahui dimana terdapat ijma sehingga dalam berfatwa ia tidak sampai menyalahi ijma. Keringanan dalam hal ini, ia tidak harus menghafal semua tempat dimana terdapat ijma, dan semua tempat dimana terdapat perbedaan. Yang paling penting dalam hal ini agar tidak terjadi bahwa ia menyalahi ijma dalam fatwanya, bila ia setujuh dengan salah satu mashab ulama, apapun mashabnya, atau mengetahui bahwa ini adalah kenyataan yang terjadi dalam masanya (فى العصر واقعة متولدة ) yang belum pernah dimasuki oleh ahlu ijma, maka kriteria ini sudah cukup.
4. Akal ( kemampuan intelektual dan analisis): Kemampuan akal telah banyak membantu manusia dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya, dan tidak terkecuali dalam bidang hukum. Ketentuan hukum berasal dari ketentuan teks Qur’an dan Sunnah. Adanya hukum dari ketentuan teks tersebut dipahami dengan akal dan ketentuan hukum yang tidak ditetapkan oleh teks juga menggunakan kemampuan akal.
5. Ia mengetahui dalil-dalil dan syarat-syaratnya sehingga mendapatkan keterangan dan dalil-dalil ( البراهين و الأدلة ) yang dibutuhkan. Tanpa dalil dan keterangan, ia tidak dapat merumuskan ketentuan hukum. Kebutuhan kapada ini tercakup dalam pengusaan pemahaman intelektual yang empat di atas.
6. Ia mengetahui bahasa dan gramatika yang dibutuhkan untuk memahami ucapan orang arab srta kebiasaan mereka dalam menggunakan bahasa. Dengan itu ia dapat membedakan antara berbagai bentuk susunan kata dan kalimat apakah ungkapan yang digunakan termasuk shahri (tegas), zahri (jelas), mujmal (ringkas), haqiqah (arti sebenarnya), majaz (kiasan), umum, khusus, muhakkamah (dengan pengertian solid), mutasyabih (meragukan, bermakna ganda), mutlaqah (mutlak), muqayyadah (bersyarat), nash (ketentuan teks), kandungan teks, langgam bahasa atau lainnya.
7. Ia mengetahui perbedaan atara nashik (teks pembatal) dan manshuk (teks yang dibatalkan) dalam kitab dan zsunnah. Ia tidak harus menghafal semua ayat dan hadist mengenai ini, tetapi harus mengetahui mana ayat atau hadits yang nasikh atau mansukh
8. Ia mengetahui perbedaan antara hadits shahih dan bukan shahih, yang diterima dikalangan ummat. Dalam hal ini, ia tidak perlu menelusuri sanad(saluran) hadits atau persatu, tetapi kalau terdapat perbeaan pendapat mengenai riwayat dan hadits, ia harus meneliti riwayat yang lebih kuat dari ulama terkenal seperti Syafi’i dan malik.
Delapan butir di atas adalah untuk mujtahid muthlak yang melakukan ijtihad dalam semua masalah hukum. Ijtihad itu menurut al-Gazali bukan sebuah pekerjaan yang tidak terbagi-bagi. Menurutnya, seorang alim dapat dikatakan melakukan ijtihad bila ia melakukan ijtihad dalam beberapa ketentuan hukum saja. Orang yang ahli dalam masalah qiyas, sekalipun tidak ahli dalam bidang ilmu hadist. Orang yang ahli didalam masalah waris cukup baginya mendalami pokok dan pengertian fara’idh, sekalipun tidak menguasai hadis-hadis tentang keharaman minuman yang memabukan dan masalah nikah tanpa wali. Seorang mufti tidak harus menjawab semua yang ditanyakan kepadanya, tetapi menjawab semua yang diketahui. Dari 40 pertanyaan yang ditanyakan kepada Imam Malik, beliau hanya menjawab 4 saja dan mengatakan tidak tahu untuk 6 pertanyaan. Imam Syafi’I dan bahkan para sahabat banyak yang tidak mendapat menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka menurut al-Gazali.
Dengan demikian, ijtihad dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi diolah dan diputuskan berdasarkan pertimbangan sehat dari mujtahid yang bersangkutan.
Adapun metode ijtihad al-Gazali dalam menetapkan hukum syara adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma dan dalil nalar (istishhab). Hal ini sesuai dengan yang disebutkan al-Gazali dalam kitabnya al-mustashfa sebagai berikut;
1. Al-Qur’an dan Sunnah
Menurut al-Gazali, sumber hukum syara hanya satu, yaitu firman-firman Allah yang termuat dalam al-Quran karena sabda nabi pada hakikatnya juga berasal dari al-Qur’an yang bersifat bayan (penjelasan) Nabi saw terhadap al-Qur’an. Sedang ijma sahabat merupakan hasil pemahaman mereka dari Sunnah; sedang Sunnah Nabi saw berasal dari firman-firman Allah (al-Qur’an) juga. Adapun nalar (aql) adalah sesuatu yang tidak tersebut dalam nas-nas hukum syara, yang lahir sebagai hasil penalaran sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir, namun tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah[11].
Al-Gazali menempatkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena sunnah Nabi pada hakekatnya bersifat bayan terhadap al-Qur’an, kecuali (sunnah) hadis âhad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Qur’an. Pada realisasinya al-Gazali menempuh cara menggunakan al-Qur’an dan hadis mutawatir[12]. Apabila tidak ditemukan dalam hadis tersebut, ia menggunakan hadis ahad. Apabila tidak ditemukan pada ketiganya maka al-Gazali akan mencari dari pendapat sahabat.Jika ditemukan ada ijma dari para sahabat tentang apa yang dicarinya maka hukum itulah yang dipakainnya[13].
Meskipun al-Gazali berhujjah dengan hadis âhad, namun ia tidak menempatkannya sejajar dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir, karena hanya al-Qur’an dan hadis mutawatir itulah yang qath’I al-wurud. Dalam pemakaian hadis âhad al-Gazali mensyaratkan sebagai berikut : a) Perawinya terpercaya, b) Perawinya berakal, c) Perawinya dhabith (kuat ingatannya), d) Perawinya benar-benar mendengar hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya, e) perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu[14].
Al-Gazali berpendapat bahwa nasakh antar dalil seperti antara ayat dengan ayat al-Qur’an itu ada. Selanjutnya ia berpendapat bahwa as-Sunnah dapat dinasakh dengan al-Qur’an. Ia mengambil contoh dalam al-Qur’an disebutkan فالان باشروهن (maka sekarang kalian boleh menggauli istri di malam Ramadhan).Ayat ini menasakh hukum tentang larangan menggauli di malam hari ramadhan.Hukum larangan menggauli ini tidak dimuat dalam al-quran tetapi dalam as-Sunnah.Sebaliknya ayat al-Qur’an dapat dinasakh oleh as-Sunnah karena pada dasarnya keduanya adalah wahyu yang berasal dari Allah melalui lisan Nabi-Nya.
Meskipun al-Gazali amat terikat dengan wahyu, ia tidak mengabaikan peranan akal sama sekali. Karena ia menyadari bahwa persoalan hukum itu bertambah terus, sementara teks wahyu tidak mungkin bertambah.Karena itu ia berpendapat apabila sebuah kasus tidak ditunjuk oleh nas, maka qiyas dapat digunakan. Inti qiyas mensejajarkan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas. Titik kesamaan disebut ‘illat. Al-Gazali tidak mau menjadikan hikma sebagai ‘illat. Ia hanya mau menetapkan hukum berdasarkan ‘illat. Ini berbeda dengan aliran kufah yang selalu mencari rahasia dibalik ketetapan hukum, mereka menetapkan hukum terkadang dengan hikmah. Sebab terkadang suatu ketetapan hukum dibuat berdasarkan hikmah.
2. Ijma
Al-Gazali menegaskan bahwa ijma adalah hujjah dan ia menempatkannya sesudah al-Qur’an dan Sunnah sebelum al-aql dan al-istishab[15]. Al-Gazali menyimpulkan ada dua unsur pokok ijma, yaitu adanya kesepakatan segenap mujtahid dari kalangan umat Islam, dari segenap penjuru dunia Islam, tidak boleh tertinggal seorang mujtahid pun dalam kesepakatan tersebut dan terjadinya kesepakatan tersebut adalah dalam suatu masa sesudah meninggalnya Nabi saw, yang menyangkut segenap permasalahan dalam masyarakat[16].
3. Istishâb
Al-Gazali, mengemukakan bahwa istishâb adalah apa yang telah ditetapkan (hukumnya) pada masa lalu, yang telah ditetapkan hukumnya pada datang selama belum didapati suatu dalil yang dapat mengubah hukum tersebut. Al-Gazali sebagai pengikut mazhab syafi’I berhujjah dengan istishhab dan membaginya dalam empat macam, yaitu a) istishâb al-khashsah, b) istishâb al-amm, c) istishâb al-nash, d) istishâb al-ijma. Tiga dari yang pertama dibolehkan, dan yang terakhir tidak dibenarkan karena tidak ada dalil yang menguatkannya. Sedang akal dimaksudkan adalah hukum yang diberlakukan sebelum datangnya syari’at. Menurut al-Gazali hukum lama tersebut sudah dihapus dengan sendirinya oleh hukum Islam, kecuali mengenai hal-hal yang oleh syari’at sendiri menyatakan secara tegas akan berlakunya.
Menurut al-Gazali, Hukum agama itu harus diambil dari ajaran wahyu, bukan produk akal manusia. Agaknya ini merupakan antisipasi teologis dari sebuah adagium bahwa akal termasuk sumber syari’at yang dikembangkan kaum mu’tazilah.Dalam faham mu’tazilah karena manusia diberi akal oleh Tuhan, dengan akal ia dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya diakhirat kelak. Konsekwensinya, orang yang tidak kesampaian dakwah juga akan dihisab dengan standar akal.
Al-Gazali menganut faham bahwa wahyu hanya mempunyai fungsi informatif belaka terhadap akal. Ia berpendapat bahwa baik dan buruk itu tidak permanen melekat pada sesuatu. Nilai baik dan buruk itu nisbi.Sesuatu dikatakan baik bila ia terjadi sesuai dengan selera, maksud dan pelakunya.Dikatakan buruk bila yang sebaliknya. Membunuh itu baik karena pelakunya menghendaki hal itu terjadi. Sementara bagi korban dan keluarganya, membunuh tadi buruk karena merugikan mereka. Untuk mengetahui baik dan buruk yang sebenarnya harus kembali kepada wahyu. Apa yang dikatakan wahyu itu baik maka baiklah ia, kendati akal mengatakan itu buruk. Demikian pula sebaliknya apa yang dikatakan buruk oleh wahyu, sedangkan menurut akal itu baik, maka sebenarnya ia buruk. Demikian juga kriteria tentang benar dan salah. Maka tanpa wahyu manusia tidak dapat menentukan baik dan buruk serta benar dan salah[17].
Adanya keragaman pemikiran yang melanda umat Islam sehingga al-Gazali bersikeras dengan pendapatnya tersebut. Menurutnya, metode berpikir bebas Yunani telah merasuk dalam pola berpikir intelektual muslim di bidang kalam dan filsafat, imbasnya kepada pemikiran fiqhi. Ia melihat corak intelektual semacam itu berbahaya bagi substansi ajaran Islam. Setelah mendalami Islam dengan kaca mata tradisi Islam dan keterbatasan akan kemampuan akal, al-Gazali menolak berpikir Mu’tazili[18].
4. Mashlahat
Berkaitan teori maslahat al-Gazali berpendapat sebagai berikut: al- ma£lahah pada dasarnya adalah suatu gambaran dari mendatangkan manfaat (jalb al-Manâfi) atau menghindarkan kerusakan (daf’u al-mafâsid). Lebih lanjut menegaskan; al-maslahah adalah memelihara tujuan syara (al-muhafazhah al-maqasid al-syar’iyyah), al-maslahah adalah meraih manfaat dan menghindarkan bahaya dalam rangka memelihara tujuan syara’ yang meliputi lima hal, yaitu agama, jiwa, keturunan dan harta[19]. Beliau juga menyatakan : semua yang mengandung pemeliharaan tujuan syara yang lima ini maka ia merupakan maslahah dan semua yang mengabaikan tujuan ini maka ia merupakan mafsadat. Sedangkan menolak sesuatu yang mengabaikan tujuan syara itu justru merupakan suatu al-Maslahah[20].
Dalam sumber hukum, menurut al-Gazali bahwa al-munasib (al- ma£lahah) tidak dapat dijadikan pertimbangan keputusan hukum dalam wilayah tahsini atau takmili kecuali ada penyaksian dari dalil, sementara di dalam wilayah al- ma£lahah ad-èaruriyah nampaknya cenderung menerimanya sebagai pertimbangan hukum. Sedangkan dalam ma£lahah al-hajiyah tidak memiliki pendirian yang jelas. Di samping itu al-Gazali memberikan syarat yang lain yaitu bilamana maslahah dimaksud adalah ma£lahah qat’iyah dan kulliyah[21].
Al-Gazali menggunakan pertimbangan ma£lahah hanya sepanjang pertimbangan memelihara kepentingan sosial atau mencegah kesulitan sosial itu dipandang masih sejalan dengan tujuan-tujuan syari’at secara umum (maqa£id syari’at) sebagaimana yang terkandung dalam nas-nas secara keseluruhan, bukan yang hanya spesifik ada dalam lingkup hukum muamalah saja. Tujuan-tujuan syari’at yang dimaksud meliputi penjagaan pada lima pilar kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan demikian pemeliharaan kepentingan sosial akan dianggap memenuhi kriteria maslahah apabila bersama itu ada penjagaan pada keselamatan lima faktor. Di samping itu al-Gazali juga menekankan agar ma£lahah senantiasa tidak bertentangan dengan pemahaman pengertian nash yang jelas maknanya.
Al-Gazali membuat tiga syarat untuk maslahat agar dapat dijadikan sebagai hujjah mu’tabarah (yang diakui) sebagaimana yang dikutip dari Mustafa al-Zarqa yaitu:
1.Maslahat tersebut harus daruriyat (primer). Al-Gazali membagi maslahat menjadi tiga bagian, yaitu: darûriyat,hâjiyat dan tahsiniyat.
2. Maslahat tersebut harus qat’i. Maslahat itu pasti dapat menyampaikan kepada tujuan-tujuan syara yang daruriyat.
3. Maslahat harus kulliyat (umum). Maksudnya dapat menolak kemudaratan sejumlah kaum muslimin bukan perorangan[22].
Maslahat yang memenuhi ketiga syarat tersebut dapat dijadikan hujjah yang cukup untuk menetapkan hukum, meskipun tidak didukung oleh dalil syara yang tertentu.Al-Gazali telah membuat sebuah contoh maslahat yang memenuhi syarat tersebut yang populer dengan masalah at-tatarrus atau at-turas yaitu jika musuh menyerang kaum muslimin dengan cara membentengi dirinya dengan tawanan muslim agar kaum muslimin tidak menyerang mereka karena khawatir terhadap tawanan yang muslim tersebut. Menurut al-Gazali, menyerang musuh (meskipun harus membunuh tawanan yang muslim, agar kaum muslim tidak menyerang mereka karena khawatir terhadap tawanan yang muslim tersebut. Menurut al-Gazali, menyerang musuh (meskipun harus membunuh tawanan muslim tersebut) dalam kondisi begini adalah sebuah kemaslahatan yang daruriyat, qathiyat, dan kulliyat. Tindakan ini wajib dilakukan meskipun harus membunuh tawanan muslim tersebut yang terpelihara darahnya) dalam kondisi begini adalah sebuah kemaslahatan yang ma£lahah qat’iyah dan kulliyah. [23]. Adapun masalah-masalah yang hanya menempati posisi hajiyat dan tahsiniyat, maka tidak boleh menetapkan hukum tentangnya hanya dengan berpegang kepada maslahat yang tidak didukung oleh dalil syara. Apabila maslahat tersebut didukung oleh dalil syara, maka itu adalah qiyas.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-Gazali lahir di desa Gazalah.Ia berasal dari keluarga yang religius dan hidup sederhana.Ia dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuhnya yaitu Ahmad bin Muhammad ar-Razikani at-Tusi ahli tasawwuf dan fiqhi dari Tus.Setelah mempelajari dasar-dasar fikih di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan.Ia juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu imam Yusuf an-Nassaj al-Farmasi at-Tusi, ia juga belajar hadis pada banyak ulama hadis, seperti Abu Sahal Muhammad Abdullah bin Ahmad. Dari sekian banyak guru dan pengetahuan yang diterima al-Gazali, dapat dipahami ia seorang pemuda yang tekun dan memiliki minat yang besar terhadap ilmu. Ia berusaha mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak.Selain itu ia mahir berbicara dan produktif dalam menulis.
2. Metode ijtihad al-Gazali dalam menetapkan hukum syara adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma dan dalil nalar (istishhab).
Al-Gazali menempatkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena Sunnah Nabi pada hakekatnya bersifat bayan terhadap al-Qur’an, kecuali hadis âhad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Qur’an. Pada realisasinya al-Gazali menempuh cara; apabila dalam al-Qur’an dan hadis mutawatir, tidak ditemukan dalil yang masalah yang dikaji maka, ia menggunakan hadis ahad. Apabila tidak ditemukan pada ketiganya maka al-Gazali akan mencari dari pendapat sahabat.Jika ditemukan ada ijma dari para sahabat tentang apa yang dicarinya maka hukum itulah yang dipakainnya
Al-Gazali berhujjah dengan istishhab dan membaginya dalam empat macam, yaitu a) istishâb al-khashsah, b) istishâb al-amm, c) istishâb al-nash, d) istishâb al-ijma. Tiga dari yang pertama dibolehkan, dan yang terakhir tidak dibenarkan karena tidak ada dalil yang menguatkannya. Menurut al-Gazali bahwa al-munasib (al-Maslahah) tidak dapat dijadikan pertimbangan keputusan hukum dalam wilayah tahsini atau takmili kecuali ada penyaksian dari dalil, sementara di dalam wilayah al-maslahah ad-èaruriyah nampaknya cenderung menerimanya sebagai pertimbangan hukum




DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan ijtihad Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002
Hadis riwayat Ahmad dari Umar bin Khattab, Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autar Juz IV; Kairo: Dar al-Fikr, t.th.
H. Minhajuddin, Pengembangan MetodeIjtihad Dalam Perspektif Fikih Islam, disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, IAIN Alauddin Makassar, 31 Mei 2004.
Abd Aziz Dahlan, (ed), Esiklopedi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Abû Hamid bin Muhammad bin Muhammad binMuhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fi ‘ilmi ‘ilmi ‘l-Ushul, Jilid II Bairut: Dâr Ihyâ at-Turats al-Arabi, reprint dari cetakan Mesir 1324 H.
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibiy, I’tisham, Jilid II Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th.
Mushtafa Ahmad al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqhi, (Jakarta: Riora cipta, 2000.


[2] Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan ijtihad (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 5
[3] Hadis riwayat Ahmad dari Umar bin Khattab, Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autar (Juz IV; Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), h. 272
[4] Lihat H. Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad Dalam Perspektif Fikih Islam (disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, IAIN Alauddin Makassar, 31 Mei 2004), h. 9.
[5] Nama lengkapnya adalah Âbu Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Tûsi al-Gazâliy, Abd Aziz Dahlan, (ed), Esiklopedi Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 404.
[6] Ibid.
[7] Abû Hamid bin Muhammad bin Muhammad binMuhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fi ‘ilmi ‘ilmi ‘l-Ushul. Jilid II (Bairut: Dâr Ihyâ at-Turats al-Arabi, reprint dari cetakan Mesir 1324 H), h.350.
[8] Ibid., h.354
[9] Ibid., h.356-358
[10] Ibid., h.350-351,354.
[11] Muhammad al-Gazali, Op.cit., h. 100
[12] Ibid., h. 101
[13] Ibid., h. 129
[14] Ibid., h. 155-165
[15] Ibid, h. 173
[16] Ibid.
[17] Abd Aziz Dahlan, Op.Cit., h. 404.
[18] Ibid.
[19] Ibid, h.286
[20] Ibid, h.287
[21] Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibiy, I’tisham, Jilid II (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th), h. 111-112.
[22] Mushtafa Ahmad al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqhi, (Jakarta: Riora cipta, 2000) h. 73-74
[23] Ibid., h.76