METODE IJTIHAD MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Oleh Rahmawati
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya, pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Pemikiran kaum muslim ini sudah tentu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberikan pengarahan, kearah mana pemikiran tersebut harus dikembangkan. Meskipun ditemui keragaman pemikiran dikalangan muslimin.
Keragaman pemikiran itu disebabkan oleh perbedaan persepsi antar kelompok-kelompok umat dan perbedaan interpretasi tentang suatu ayat atau hadis. Namun Keragaman pemikiran itu tidak perlu mejadi penghalang bagi pertumbuhan masyarakat, bahkan bila dihadapi dan dikelola secara bijak, keragaman pemikiran itu justru akan menimbulkan kesegaran. Secara objektif, pemikiran yang tidak tahan bantingan akan dengan sendirinya masuk ke kota sejarah, sedangkan pemikiran yang lebih kokoh dan benar akan terus bertahan melayani umat dan masyarakat.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyakatan Islam tertua di Indonesia. Sebagai organisasi kemasyarakatan, ia mengurus berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, panti asuhan, penyuluhan, kebajikan dan lain-lain yang jumlahnya semakin bertambah setiap tahun. Ia juga mempunyai berbagai organisasi otonom, majelis dan lain-lain terikat dengan cita-cita Muhammadiyah.
Muhammadiyah, melalui majelis tarjihnya, telah berusaha untuk mengikuti perkembangan pemikiran keislaman dan sekaligus memberikan tanggapannya. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa sumber ajaran Islam hanya al-Qur’an dan Sunnah. Artinya bahwa segala persoalan yang muncul saat ini harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut.Tentu penalaran yang cerdas tidak dapat diabaikan, terutama dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang baru dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka ijtihad memegang peranan yang strategis dan penting dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum kontemporer. Namun demikian menurut Muhammadiyah, ijtihad tidak lebih dari sekedar metode untuk memahami isi dan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena itu, Mujtahid hanyalah sebagai pengungkap hukum (kasyf al-hukum), tidak sebagai penetap hukum (munsyi’ al-hukm).
Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada tajdid. Bagi organisasi ini,tajdid dapat berarti reformasi dan dapat pula berarti modernisasi. Tajdid dalam arti yang pertama, kelihatannya sudah banyak dilakukan oleh organisasi sosial keagamaan ini. Untuk menyelesaikan masalah-masalah fiqhi kontemporer, yang merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, organisasi ini berpendapat bahwa peranan akal manusia menjadi penting artinya dalam memahami ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu bagi Muhammadiyah ijtihad bukan saja perlu, namun juga harus dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.
B. Permasalahan
Berangkat dari latar belakang di atas, permasalahan yang penting untuk dikemukakan dalam kajian ini adalah; bagaimana metode ijtihad Majelis Tarih Muhammadiyah? Dengan sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah?
2. Bagaimana metode ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah?
II. PEMBAHASAN
A. Hakikat Ijtihad Dalam Muhammadiyah
Ijtihad dapat dilakukan secara individu dan kolektif. Muhammadiyah memilih ijtihad dalam bentuk yang kedua. Hal ini dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih. Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fiqih. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yokyakarta, dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama[1]. Tujuan pendirian Majelis ini adalah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyat, kemudian menetapkan pendapat yang terkuat, untuk diamalkan warga Muhammadiyah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Majelis Tarjih tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyat, tetapi juga mengarah pada penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak anggota Lajnah Tarjih menuntut agar Majelis Tarjih diubah namanya menjadi Majelis ijtihad[2]. Namun dengan alasan kesejarahan, sampai saat ini namanya tetap Majelis Tarjih.
Sejak didirikannya pada tahun 1928 sampai sekarang, tugas Majelis Tarjih telah mengalami perkembangan dan perubahan. Semula majelis ini hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh majelis Tarjih, ketika lembaga ini didirikan, warga Muhammadiyah sendiri akan mengalami perselisihan yang tajam[3]. Agaknya, Tugas utama Majelis Tarjih pada awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama mengenai pelaksanaan ibadah. Hal ini dapat dilihat pada agenda pembahasan muktamar tarjih pertama tahun 1929 di Solo sampai muktamarnya pada tahun 1953, hanya membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah mulai dari masalah bersuci sampai pelaksanaan ibadah haji ditambah pembahasan jenazah dan waqaf. Pada tahun 1954 dan tahun 1955 membahas sumber ajaran Islam. Kemudian mulai tahun 1968 sampai sekarang baru dibahas dan ditetapkan hukumnya mengenai berbagai masalah mu’amalah kontemporer. Disadari bahwa ijtihad dalam berbagai masalah kontemporer merupakan tugas yang tidak mudah, maka orang yang ikut serta dalam pembahasan tersebut seharusnya memenuhi kualifikasi ijtihad.
Dalam lapangan atau ruang lingkup ijtihad, berpendapat bahwa ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam fiqhi saja.Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan lagi apalagi jika dikaji secara rasional.[4] Bidang yang terakhir ini oleh Muhammadiyah dimasukan kepada lahan pemurnian, dan bukan lahan modernisasi. Tentu pendapat ini tidak sepenuhnya disetujui oleh warga Muhammadiyah, terutama para cendikiawan atau pemikirnya. Mereka menginginkan ijtihad Muhammadiyah secara menyeluruh, tidak terbatas pada masalah fiqhi saja.Mereka menginginkan ijtihad muhammadiyah sama seperti ijtihad Muhammad Abduh[5]. Mengenai hal ini M.Watik Pratiknya berharap agar tajdid tidak hanya diartikan sebagai purifikasi saja, tetapi harus diartikan juga sebagai redefinisi dan reformulasi. Baginya masalah-masalah baru harus dipahami secara integralistik[6].
Adapun rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut[7]:
Dari segi bahasa tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdid memiliki dua arti, yakni;
a. Pemurnian;
b. Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur’an dan As Sunnah Ash-Shohihah.
Dalam arti “peningkatan,pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk melakukan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.Menurut perserikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdid di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijitihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran islam, al-Qur’an dan hadits; dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam pembentukannya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali Al-Qur’an dan hadist sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya bagi Muhammadiyah akal mempunyai peranan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadist. Namun kata-kata “yang dijiwai ajaran Islam” memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadist. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhahir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari pada pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh Muhammad Abduh. Menurut yang disebut terakhir ini, akal harus didahulukan dari arti zhahir nash, jika terdapat pertentangan diantara keduanya[8]. Artinya, nash itu harus dicari interprestasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.
Untuk memahami lebih jelas hakikat tajdid dalam Muhammadiyah, perlu diperhatikan pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam pembahasan masalah tajdid pada forum muktamar tarjih XXII itu. Dari rangkaian pemikiran itu diharapkan dapat dilihat karakteristik atau hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah.
Amin Rais, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 1985-1990, pada dasarnya menerima upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Upaya itu menurutnya, harus tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Hadist. Artinya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist dapat dipahami sesuai dengan konteks dimana umat Islam itu berada. Tetapi ia tidak setju kalau “sebuah hukum yang sudah qat’i dalam al-Qur’an disesuaikan dengan praktek masyarakat modern”[9]. Sementara itu Mukti Ali, dalam prasarannya di forum muktamar tarjih, menyetujui sepenuhnya upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Ia menyatakan, untuk menghadapi dunia yang serba berubah ini “teks”al-Qur’an dan Hadist harus dipahami dengan memperhatikan keadaan disekitarnya, konteks. Itulah yang dimaksud memahami agama Islam secara kontekstual.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman Muhammadiyah tentang ijtihad bertitik tolak dari kerangka berpikir, bahwa Islam diyakini sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan situasi baru. Kelihatannya bagi Muhammadiyah ijtihad memberikan kemungkinan adanya penyegaran dan penyesuaian Islam pada situasi baru. Dengan ijtihad itulah ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya, dapat diterima umat manusia dimana dan kapanpun mereka berada.
B. Metode Ijtihad Muhammadiyah
Kajian ini difokuskan pada apa yang tertulis dalam manhaj istinbath Majelis Tarjih dan Himpunan Putusan Tarjih untuk melihat lebih jauh konsistensi Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah digariskan.
Sumber hukum utama dalam pandangan Muhammadiyah tidak berbeda dengan NU bahkan seluruh umat Islam dalam berbagai mazhab dan aliran yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Tentu penjelasan dari Sunnah tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskan al-Qur’an. Karena itu menurut ahli hadis salah satu tolak ukur untuk menyeleksi hadis adalah harus diuji dengan al-Qur’an. Kalau hadis sejalan dengan al-Qur’an maka hadis itu dapat diterima. Tetapi jika Hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an, maka, Hadis itu tidak dapat diterima[10].
Kelihatannya Muhammadiyah tidak mengembangkan tolak ukur tersebut. Sebagai indikatornya ada beberapa hadis yang dijadikan putusan tarjih, yang diduga sementara pihak sebagai tidak sejalan dengan al-Qur’an. Sebagai contoh Hadis tentang hukum membayar puasa untuk orang yang meninggal dunia dan hukum memakai emas bagi laki-laki[11].
Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan yang baru, sepanjang tidak berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat dalam nash sharih yaitu al-Qur’an dan Sunnah, dilakukan denga ijtihad dan isthimbath dari nas yang ada melalui persamaan ‘illat[12].
Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan merupakan sumber hukum tetapi sebagai metode penetapan hukum dalam Islam.
Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqhi terdahulu, namun di sana sini terdapat modifikasi atau kombinasi seperlunya. Ijma yang dibahas dalam ushul fiqhi tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya menerima konsep ijma yang terjadi dikalangan sahabat. Hal ini mengisyaratkan bahwa ijma tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma karena umat Islam masih sedikit jumlahnya[13].
Banyak faktor yang menyebabkan tidak adanya ijma pada masa sekarang. Salah satu diantaranya karena jumlah umat Islam sekarang ini cukup banyak dan mereka tersebar diberbagai belahan dunia yang berjauhan.Lebih dari itu menentukan kriteria mujtahid, seperti yang terdapat dalam defenisi ijma, juga tidak mudah. Belum lagi adanya perbedaan sekte dan aliran dalam Islam yang pada gilirannya akan mempesulit proses ijma itu[14]. Bahkan Ibnu Qayyim menegaskan bahwa pengetahuan seseorang tentang kesepakatan umat Islam yang berada diberbagai belahan dunia ini, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, dapat dikatakan hal yang paling sulit terjadi[15].Pendapat ini diterima oleh Muhammadiyah.
Selanjutnya qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima Muhammadiyah dengan catatan bukan menyangkut ibadah mahdah. Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas, ternyata banyak peserta mu’tamar tarjih yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, tetapi banyak pula yang menyetujuinya. Engan kata lain warga Muhammadiyah tidak sepakat penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum.Namun demikian kenyataannya, betapapun seseorang atau sekelompok orang tidak menerima qiyas, namun persoalan-persoalan yang baru harus diselesaikan dengan melihat ‘illatnya. Kegiatan ini tidak lain kecuali qiyas.
Istihsan sebagai metode penetapan hukum tidak dijelaskan Muhammadiyah secara eksplisit, tetapi dari rumusan yang terdapat dalam manhaj Majelis Tarjih dapat dipahami bahwa metode istihsân diterima oleh Muhammadiyah. Dalam poin ke sembilan manhaj tersebut dinyatakan bahwa menta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis[16]. Kegiatan ini erat kaitannya dengan metode istihsân.
Berbeda dengan qiyâs dan istihsân, dalam al-maslahat al-Mursalah sama sekali tidak terdapat nash yang secara khusus mengaturnya, melainkan termasuk ruang lingkup maqâsid al-syari’at secara umum. Metode ini digunakan untuk mengantisipasi persoalan baru, padahal nash dan al-Qur’an dan Hadis belum mengaturnya. Tentu bidangnya luas dibandingkan dengan dua metode sebelumnya. Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah.
Dalam pandangan Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan[17]. Agaknya, cara berpikir seperti ini sejalan dengan pernyataan al-tufi, salah seorang pengikut Ahmad bin Hanbal. Ia menegaskan bahwa kemaslahatan umat merupakan jiwa dari aspek hukum dalam Islam yang berhubungan dengan Muamalah. Bahkan lebih jauh dari itu, baginya kemaslahatan dalam bidang muamalah harus didahulukan dari pada nas, apalagi terjadi pertentangan satu sama lainnya. Artinya maslahat dalam bidang muamalah dapat mentakhsiskan nash[18]. Namun tidak berarti membatalkan nash sama sekali. Pernyataan al-Thufi yang terakhir ini tidak dinyatakan secara eksplisit Muhammadiyah. Namun berdasarkan keterangan sebagian pimpinan Majelis Tarjih Muhammadiyah tetap mendahulukan zhahir nash dari pada maslahat, ketika satu sama lain dianggap bertentangan[19].
Muhammadiyah dalam berijtihad juga menggunakan metode saddu al-zari’at. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk kemaslahatan manusia.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yaitu :
a.Al-ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis.
b..Al-ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis
c.Al-Ijtihad al-Istishlahî yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Namun bila diurut secara rinci, jalur yang terakhir menggunakan konsep maslahah lebih banyak dari jalur sebelumnya. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan Muhammadiyah dalam masalah-masalah muamalah selalu bertumpu pada maqâsid al-syari’at yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia dengan cara memperhatikan hal-hal yang bersifat èarûriyat, hâjiyat dan tahsiniyat. Dan setiap tingkat memperhatikan lima unsur utama yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Untuk membuktikan metode ijtihad Muhammadiyah akan dikaji beberapa putusan Majelis Tarjih yang berhubungan fiqhi kontemporer.
a. Keluarga Berencana
Yang menarik dari putusan yang diambil Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai hukum mengikuti program keluarga berencana adalah bahwa meskipun pada dasarnya menjarangkan atau membatasi kelahiran itu tidak dibenarkan, namun dalam keadaan darurat tindakan itu dapat dibenarkan. Apa kriteria darurat yang dimajukan? Kelihatannya dalam membuat kriteria darurat Muhammadiyah mencoba menghubungkan dengan maqâsid al-syari’at, yaitu demi kemaslahatan manusia. Bagi Muhammadiyah, darurat yang dijadikan dasar bolehnya melakukan penjarangan dan penundaan kehamilan dalam mengikuti program KB adalah:
1.Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengandung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan keterangan dokter yang dapat di percaya.
2. Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan seperti terseret menerima hal-hal yang haram.
3. Menghkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran terlalu dekat[20].
Jika dihubungkan dengan maqâsid al-syari’at seperti yang telah dijelaskan maka kriteria darurat sejalan dengan pemahaman ahli ushul fiqhi.
b.Sterilisasi
Yang dimaksud dengan sterilisasi adalah proses pemandulan laki-laki atau wanita dengan alan operasi agar tidak mendapatkan keturunan.caranya adalah saluran mani di potong kemudian kedua ujungnya di ikatsehingga sel sperma tidak dapat mengalir keluar penis. Sedangkan bagi wanita disebut tubektomi dimana sel telur dipotong dan keduanya ditutup, sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sperma pun tidak dapat masuk untuk bertemu dengan sel telur.
Muhammadiyah berpendapat, bahwa sterilisasi tidak dibenarkan oleh ajaran Islam . Pernyataan ini dapat dipahami dari penjelasannya tentang KB sebagai berikut: pencegahan kehamilan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam ialah sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat segan mempunyai keturunan atau dengan cara merubah organisme yang bersangkutan, seperti memotong dan mengikat daln lain-lain.Muhammadiyah mengharamkan sterilisasi secara mutlak alasannya bahwa memperoleh keturunan merupakan tujuan utama disyari’atkan nikah dalam Islam seperti digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam rangka pembahasan dan penyelesaian masalah-masalah fiqhi kontemporer, Muhammadiyah ternyata berusaha untuk memahaminya dengan kerangka teori dan pendekatan maqâsid al-syari’at yakni memperhatikan maslahat baik yang termasuk peringgkat èarûriyat, hâjiyat dan tahsiniyat.
III.PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Ijtihad bagi Muhammadiyah bukan saja boleh melainkan harus dilakukan terutama dalam menghadapi berbagai masalah yang baru sebagai akibat dari kemajuan teknologi. Tanpa melakukan ijtihad ummat Islam akan sulit menyelesaikan berbagai macam masalah kontemporer namun demikian baginya ijtihad tidak lebih sekedar hasil pemikiran manusia dalam memahami wahyu Allah. Karena itu hasil ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang bersifat relatif (tidak mutlak benar). Berdasarkan prinsp realitas hasil ijtihad itu pulalah Muhammadiyah sampai pada satu kesimpulan bahwa ijtihad tidak dapat dijadikan sumber hukum dalam Islam tetapi hanya sekedar metode untuk menggali dan menetapkan hukum.
2. Metode ijtihad yang digunakan yaitu pertama; Metode ijtihad qiyasi (digunakan manakala kasus yang baru itu ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Dan kedua; Metode ijtihad Istislahi (digunakan manakala kasus yang baru itu tidak ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Untuk metode yang kedua ini Muhammadiyah menggunakan metode al-Maslahah al-Mursalah, Istihsân dan Saddu al-Zari’ah dalam upaya mewujudkan kemaslahatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Turkey,Ushul Mazhab al-Imam Ahmad Dirasat Ushuliyyat Muqaranat, Riyad: Maktaba al-Riyad al-Hadisat, 1977.
Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh Beirut: Dâr al-Fikr, 1989
Amin Rais, Beberapa Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Muktamar Tarjih XXII, 1989.
Amir Maksum, Pemahaman Tajdid Dalam Muhammadiyah, (Makalah disampaikan pada Muktamar Tarjih ke XXII, 1989.
Asmuni Abdul Rahman , Metode Penetapan Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Dewan Nahdat, Al-Imam Muhammad Abduh, Beirut; Dar al-Ilmi li al-Malayin,1983.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbil al-‘Alamin, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikri, 1964.
Lihat Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz KeputusanMuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII”, PP. Muhammadiyah,1990.
Lihat”Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih”, yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan” dalam PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Buku Panduan Muktamar Tarjih MuhammadiyahXXII,(Mlang: 1989.
Hasyim Manan, Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid Keagamaan, dalam A. Halim Mahfuz , op.cit.h. 24-25
Mustafa Zaid, Al-Maslahat fi al-Tasyrî al-Islami wa Najmu al-Dinal-Thufî, t.t.:Dâr al-Fikr, 1964.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Himpunan Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta: t.th.
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Jakarta: al-Majelis al-‘ala al-Indunisi li al-Da’wat al-Islamiyat, 1972.
Wawasan Teologis Para Pemimpin Muhammadiyah Harus di Bangkitkan”, dalam Yogya Post, (15 Desember 1990.
[1] Asmuni Abdul Rahman , Metode Penetapan Hukum Islam,( Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 30
[2] Amir Maksum, Pemahaman Tajdid Dalam Muhammadiyah, (Makalah disampaikan pada Muktamar Tarjih ke XXII, 1989), h.15
[3] Asmuni A. Rahman, et.al., op.cit., h.23 dan 37.
[4] Amir Maksum, op.cit.,h.11
[5] M.Hasyim Manan, Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid Keagamaan, dalam A. Halim Mahfuz , op.cit.h. 24-25
[6] “Wawasan Teologis Para Pemimpin Muhammadiyah Harus di Bangkitkan”, dalam Yogya Post, (15 Desember 1990), h. 12.
[7] Lihat Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz KeputusanMuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII”, (PP. Muhammadiyah,1990), h. 47.
[8] Dewan Nahdat, Al-Imam Muhammad Abduh, (Beirut; Dar al-Ilmi li al-Malayin,1983), h. 7-8, Lihat Juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h.65
[9] Amin Rais, Beberapa Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Makalah disampaikan dalam Muktamar Tarjih XXII, 1989), h.4
[10] Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h.434
[11] Dalam putusan Majelis Tarjih disebutka bahwa apabila aada orang yang dalamperwaliannya meninggal, sedang ia berhutang puasa , maka wali harus berpuasa untuk orang tersebut. Di antar dalil yang digunakan adalah: Hadis عن عائشة ان رسول الله قال من مات وعليه صيام صام عنه وليه, sementara pihak lain menganggap hadis ini tidak sejalan dengan QS. Al-Najm (53):39, Lihat Himpunan tarjih, op.cit., h.171,179,180, 289-290.Mengenai haramnya laki-laki memakai sutera, majelis Tarjih menggunakan hadis احل الذهب والحرير للاناث من امتى وحرم على ذكورها , Hadis ini sementara pihak dianggap tidak sejalan dengan QS. Al-‘Araf: 32).
[12] Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Himpunan Putusan Majelis Tarjih,( Yogyakarta: t.th), h. 278
[13] Sesuai dengan kriteria ijma; wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Jaakarta: al-majlis al-‘ala al-Indunisi li al-Da’wat al-Islamiyat, 1972), h. 45-46
[14] Abdul Majid Turkey,Ushul Mazhab al-Imam Ahmad Dirasat Ushuliyyat Muqaranat,(Riyad: Maktaba al-Riyad al-Hadisat, 1977), h. 313
[15] Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbil al-‘Alamin,(Beirut: Dâr al-Fikri, 1964),Juz II, h.334
[16] Lihat”Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih”, yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan” dalam PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Buku Panduan Muktamar Tarjih MuhammadiyahXXII,(Mlang: 1989), h.22
[17] Ibid., h. 23
[18] Mustafa Zaid, Al-Maslahat fi al-Tasyrî al-Islami wa Najmu al-Dinal-Thufî, (t.t.:Dâr al-Fikr, 1964), h.117 dan 121.
[19] Amir Maksum, Loc.cit.
[20] Himpunan Putusan Tarjih, Op.cit., h.309-310
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar