Minggu, 01 Maret 2009

Metode Ijtihad Imam Gazali

METODE IJTIHAD IMAM AL-GAZALI DALAM
KITAB AL-MUSTASFA MIN ‘ILM AL-USÛL
Oleh : Rahmawati
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan kepada manusia agar tercipta kemaslahatan, baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Nas diturunkan dengan maksud menegakkan maqâsid al-syar’iyah, yaitu terpeliharanya kemaslahatan umum bagi manusia, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Setelah Rasulullah wafat, wahyu terhenti turun. Yang tinggal hanyalah catatan-catatan yang terkodifikasi dengan baik dalam mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab hadis. Sedang permasalahan yang dihadapi manusia terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Hal inilah kemudian menjadi sebuah permasalahan serius, bagaimana menjawab permasalahan manusia yang terus berkembang, sedang wahyu sebagai solusi utama dari permasalahan tersebut telah berhenti turun?
Demikianlah kemudian para ulama setelah Rasulullah berpikir keras untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang terus berkembang tersebut. Hingga kemudian ditemukan bahwa pada dasarnya, bentuk-bentuk firman Allah di dalam al-Qur’an terbagi kepada dua kategori[2]: pertama, nas yang sudah jelas artinya dan pasti arahnya sehingga tidak memungkinkan timbul arti dan pengertian lain, yang dapat diamalkan apa adanya, bentuk seperti ini dinamakan qat’i. Kedua, nas atau firman yang bentuknya umum dan tidak menunjukkan maksud yang pasti, bahkan memungkinkan lahirnya beberapa pengertian, dan pengamalan yang berbeda, bentuk kedua ini biasa disebut zanni. Bentuk terakhirlah yang kemudian memberi peluang kepada ajaran Islam agar tetap lentur dan fleksibel mengikuti perkembangan zaman melalui proses ijtih±d.
Sebagai sebuah solusi utama bagi ajaran Islam, upaya ijtih±d tentunya telah mendapat rekomendasi dari Rasulullah saw lewat hadis-hadis yang menegaskan hal tersebut. Bahkan dari ayat-ayat teguran dari Allah kepada beliau bisa menjadi salah satu indikasi kuat, bahwa bahkan ketika wahyu masih turunpun beliau telah melakukan upaya ijtih±d dan penalaran atas masalah yang dihadapi dengan potensi yang dimilikinya sebagai manusia.
Beberapa peristiwa pada masa nabi, juga menggambarkan ijtih±d yang dilakukan oleh beliau. Di antaranya kasus Umar bin Khattab yang mencium istrinya dalam keadaan berpuasa, kemudian menganggap puasanya menjadi batal karenannya. Ketika hal itu ditanyakan kepada nabi saw., nabi menganalogikan mencium istri dengan berkumur-kumur saat berpuasa. Nabi berkata: “Bagaimana pendapatmu, apabila engkau berkumur-kumur dengan air, apakah puasamu batal?”, Umar menjawab: “Menurut pendapatku, hal itu tidak membatalkan puasa”, lalu Rasulullah berkata: “Kalau begitu, teruskan puasamu!”.[3]
Pada masa nabi dengan kehidupan yang sederhana dan wahyu masih turunpun ijtih±d telah dilakukan, maka dapat dibayangkan pentingnya ijtihad pada masa-masa setelahnya, sekarang dan akan datang dengan berbagai masalah yang lebih rumit dan kompleks.[4] Sehingga menjadi sebuah keniscayaan, bahwa ijtih±d pada zaman modern merupakan suatu kebutuhan, bahkan sebuah keharusan bagi masyarakat Islam yang terus berkembang permasalahannya.
Semua aliran (mazhab) dalam hukum Islam sepakat bahwa permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ diselesaikan melalui ijtihad. Perbedaan di antara aliran-aliran ini hanyalah dalam urutan metode-metode yang digunakan, atau sebagian aliran menggunakan metode tertentu, tetapi aliran yang lain tidak menggunakannya.
Al-Gazali seorang pemikir hukum Islam ( ulama Islam) yang sangat berpengaruh dan diagungkan di dunia Islam. Ia adalah salah seorang tokoh yang paling lantang menyuarakan agar ijtihad dihidupkan kembali. Berkaitan dengan hal ini mengemukakan ide-idenya lewat karyanya al-Musta¡fâ min ilm al-U¡ul.

B. Permasalahan
Berangkat dari latar belakang di atas, permasalahan yang penting untuk dikemukakan dalam kajian ini adalah; bagaimana metode ijtihad al-Gazali dalam kitab al-Musta¡fâ min ilm al-U¡ul.? Dengan sub masalah sebagai berikut:
1. Siapa al-Gazali?
2. Bagaimana metode ijtihad al-Gazali dalam kitab al-Musta¡fa?


II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup al-Gazali
Al-Gazali[5] lahir di desa Gazalah dekat Tus tahun 450/1058 M dan meninggal juga dikota tersebut pada tahun 505H/1111M, dalam usianya 55 tahun., Ia berasal dari keluarga yang religius dan hidup sederhana. Pendidikan al-Gazali di masa kanak-kanak berlangsung di kampung halamannya.Setelah ayahnya wafat, ia dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya ntuk mengasuh mereka yaitu Ahmad bin Muhammad ar-Razikani at-Tusi ahli tasawwuf dan fiqhi dari Tus.
Setelah mempelajari dasar-dasar fikih di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasan fiqhinya dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Ismail bin Mus’idah al-Ismail. Sementara itu al-Gazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu imam Yusuf an-Nassaj al-Farmasi at-Tusi, ia juga belajar hadis pada banyak ulama hadis, seperti Abu Sahal Muhammad Abdullah bin Ahmad al-Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’I az-Zauzani dan lain-lain[6].
Pemikiran al-Gazali dalam bidang fiqhi meliputi banyak aspek, seperti politik, ibadah dan ushul fiqhi. Dalam aspek politik al-Gazali antara lain berpendapat bahwa kewajiban mengangkat seorang kepala negara didasarkan atas keharusan agama. Sebagai alasannya, ia menyatakan bahwa tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan materil dan duniawi yang tidak mungkin dapat dipenuhinya sendirian, tetapi lebih dari itu untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang bahagia diakhirat.
Selanjutnya al-Gazali berpendapat bahwa kerajaan merupakan anugerah Allah SWT yang diberikannya kepada siapapun yang dikehendaki –Nya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran ayat:26. Meskipun al-Gazali berpendapat bahwa kekuasaan kepala negara bersifat mutlak, al-Gazali mengemukakan sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi kepala negara agar tidak bertindak sewenang-wenang sebagai berikut: 1)Seorang yang dewasa, 2) berakal sehat,3) orang merdeka, 4) laki-laki, 5) keturunan quraisy, 6) memiliki pendengaran dan penglihatan yang sehat, 7) memiliki kekuasaan yang nyata, 8) memiliki hidayah, yaitu daya pikir dan daya rancang yang kuat, serta ditunjang dengan kesediaan bermusyawarah, 9) Memiliki ilmu pengetahuan, 10) bersifat warak, hidup secara bersih dengan kemampuan mengendalikan diri dari hal-hal yang terlarang dan tercelah.
Selanjutnya dalam bidang ushul fiqhi, al-Gazali mempunyai wawasan yang luas tentang masalah qiyas. Untuk pembahasan topik ini, ia menyusun sebuah kitab khusus berjudul Syifa’ al-Galil (obat bagi orang yang dengki). Di dalam kitab ini uraian teoritis tentang kaidah ushul fiqhi disertai dengan contoh-contoh praktis. Bahkan untuk menambah uraiannya al-Gazali sering menambah dialog imajiner.Umpamanya mengemukakan kaidah bahwa ‘illat hukum dapat ditetapkan dengan adanya isyarat dalam nas, seperti adanya huruf fa yang mengiringi suatu perbuatan.Contohnya dalam QS.al-Maidah :6. mengatakan bahwa shalat menjadi ‘illat yang menyebabkan perbuatan berwudhu.Wudhu diwajibkan karena seseorang akan melaksanakan shalat. Oleh karena itu orang yang berhadas tidak wajib wudhu kalau tidak shalat.
Dari sekian banyak guru dan pengetahuan yang diterima al-Gazali, dapat dipahami ia seorang pemuda yang tekun dan memiliki minat yang besar terhadap ilmu. Ia berusaha mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak.Selain itu ia mahir berbicara dan produktif dalam menulis.

B. Karya Tulis
Al-Gazali adalah seorang penulis yang produktif. Banyak buku yang ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain tentang ushul fiqhi: diantaranya : al-Mankhûl min Ta’lîqât al-Usûl (pilihan yang tersaring dari noda-noda usul fiqhi), Syifâ al-Ghalîl fî Bayân asy-Syabah wa al-Mukhîl wa Masâlik at-Ta’lîl , Tahzîb al-usûl (Elaborasi terhadap ilmu usûl fiqhi, dan al-Mustasfâ min ‘ilm al-Usûl (pilihan dari ilmu ushul fiqhi).

C. Metode Ijtihad Imam al-Gazali dalam Kitab “al-Musta¡fa”.
Abu hamid al-Gazali menyimpulkan bahwa ijtihad secara bahasa berarti بذل الجهود و استفراغ الوسع في فعل من الأفعال “melakukan usaha keras dan memaksimalkan upaya dalam salah satu perbuatan”, dan menurut defenisi kaum ulama, ijtihad adalah ( بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشريعة) usaha keras yang dilakukan mujtahid dalam mencari ketentuan-ketentuan hukum syari’at. Menurut al-Gazali usaha ada yang bersifat penuh dan bersifat tidak penuh.
Ijtihad penuh (ijtihad tam ) ialah “usaha keras yang dilakukan dalam mencari sehingga yang bersangkutan merasa dirinya tidak mampu mencari lebih dari itu”[7] . Ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid adalah dalam semua ketentuan hukum syar’I (sah secara agama) yang tidak mempunyai dalil qath’i ( و المجتهد فيه كل حكم شرعى ليس فيه دليل قطعى ). Disini ketentuan hukum syar’I dibedakan dari ketentuan aqliyyat dan masalah kalam (teologi)[8]. Ketentuan hukum yang dimaksud adalah menngenai masalah-masalah yang tidak mendapat dosa bila ijtihad dilakukan. Sebaliknya, dalam masalah-masalah yang mempunyai dalil qath’i, maka ijtihad tidak dapat dilakukan, dan bila salah dalam hal itu mendapat dosa[9].
Al-Gazâli mengatakan bahwa seorang mujtahid harus mempunyai kemampuan intelektual untuk memahami syara’ sehingga ia dapat membangkitkan stimulus §ann (opini yang lebih dekat kepada kebenaran) dengan mengamati permasalahan, mendahulukan apa yang harus didahulukan dan mengakhirkan apa yang harus diakhirkan. Ia juga merupakan seorang adil yang menjauhi kemaksiatan agar fatwa atau hasil mujtihadnya dapat diandalkan. Ijtihad atau fatwa orang yang tidak adil tidak dapat diterima. Penguasaan intelektual dan keharusan adil dijelaskan oleh al-Gazali dalam delapan butir. Dua butir pertama merupakan pendahuluan; dua butir selanjutnya sebagai pelengkap; dan empat butir terakhir sebagai moderasi[10].
1. Kitab (Qur’an): seorang mujtahid tidak diharuskan untuk mengetahui seluruh kandunganya, tetapi cukup hal-hal yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum saja, yang berjumlah lebih kurang 500 ayat.(b) ia tidak perlu menghafalnya di luar kurang 500 ayat. (b) Ia tidak perlu menghafalnya di luar kepala, tetapi cukup mengetahui di mana ayat-ayat tersebut ditemukan dalam Kitab sehingga mudah dirujuki bila dibutuhkan.
2. Sunnah: (a) Ia harus mengetahui hadits-hadits yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum, yang jumlahnya beribu-ribu. Walaupun beribu-ribu, tetapi ia tidak harus mengetahui hadits-hadits tentang nasehat keagamaan (المواعظ), ketentuan-ketentuan hukum mengenai akhirat dan lain-lain yang tidak menyangkut hukum. (b) Ia tidak perlu menghafalnya diluar kepala, tetapi cukup mempunyai buku-buku hadits-hadits sahih yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum sehingga ia dapat mencari hadits-haditsyang dimaksud sewaktu dibutuhkan. Bila ia menghafalnya, maka itu lebih baik dan lebih sempura, tetapi tidaklah merupakan syarat.
3. Ijma (konsensus): Ia harus mengetahui dimana terdapat ijma sehingga dalam berfatwa ia tidak sampai menyalahi ijma. Keringanan dalam hal ini, ia tidak harus menghafal semua tempat dimana terdapat ijma, dan semua tempat dimana terdapat perbedaan. Yang paling penting dalam hal ini agar tidak terjadi bahwa ia menyalahi ijma dalam fatwanya, bila ia setujuh dengan salah satu mashab ulama, apapun mashabnya, atau mengetahui bahwa ini adalah kenyataan yang terjadi dalam masanya (فى العصر واقعة متولدة ) yang belum pernah dimasuki oleh ahlu ijma, maka kriteria ini sudah cukup.
4. Akal ( kemampuan intelektual dan analisis): Kemampuan akal telah banyak membantu manusia dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya, dan tidak terkecuali dalam bidang hukum. Ketentuan hukum berasal dari ketentuan teks Qur’an dan Sunnah. Adanya hukum dari ketentuan teks tersebut dipahami dengan akal dan ketentuan hukum yang tidak ditetapkan oleh teks juga menggunakan kemampuan akal.
5. Ia mengetahui dalil-dalil dan syarat-syaratnya sehingga mendapatkan keterangan dan dalil-dalil ( البراهين و الأدلة ) yang dibutuhkan. Tanpa dalil dan keterangan, ia tidak dapat merumuskan ketentuan hukum. Kebutuhan kapada ini tercakup dalam pengusaan pemahaman intelektual yang empat di atas.
6. Ia mengetahui bahasa dan gramatika yang dibutuhkan untuk memahami ucapan orang arab srta kebiasaan mereka dalam menggunakan bahasa. Dengan itu ia dapat membedakan antara berbagai bentuk susunan kata dan kalimat apakah ungkapan yang digunakan termasuk shahri (tegas), zahri (jelas), mujmal (ringkas), haqiqah (arti sebenarnya), majaz (kiasan), umum, khusus, muhakkamah (dengan pengertian solid), mutasyabih (meragukan, bermakna ganda), mutlaqah (mutlak), muqayyadah (bersyarat), nash (ketentuan teks), kandungan teks, langgam bahasa atau lainnya.
7. Ia mengetahui perbedaan atara nashik (teks pembatal) dan manshuk (teks yang dibatalkan) dalam kitab dan zsunnah. Ia tidak harus menghafal semua ayat dan hadist mengenai ini, tetapi harus mengetahui mana ayat atau hadits yang nasikh atau mansukh
8. Ia mengetahui perbedaan antara hadits shahih dan bukan shahih, yang diterima dikalangan ummat. Dalam hal ini, ia tidak perlu menelusuri sanad(saluran) hadits atau persatu, tetapi kalau terdapat perbeaan pendapat mengenai riwayat dan hadits, ia harus meneliti riwayat yang lebih kuat dari ulama terkenal seperti Syafi’i dan malik.
Delapan butir di atas adalah untuk mujtahid muthlak yang melakukan ijtihad dalam semua masalah hukum. Ijtihad itu menurut al-Gazali bukan sebuah pekerjaan yang tidak terbagi-bagi. Menurutnya, seorang alim dapat dikatakan melakukan ijtihad bila ia melakukan ijtihad dalam beberapa ketentuan hukum saja. Orang yang ahli dalam masalah qiyas, sekalipun tidak ahli dalam bidang ilmu hadist. Orang yang ahli didalam masalah waris cukup baginya mendalami pokok dan pengertian fara’idh, sekalipun tidak menguasai hadis-hadis tentang keharaman minuman yang memabukan dan masalah nikah tanpa wali. Seorang mufti tidak harus menjawab semua yang ditanyakan kepadanya, tetapi menjawab semua yang diketahui. Dari 40 pertanyaan yang ditanyakan kepada Imam Malik, beliau hanya menjawab 4 saja dan mengatakan tidak tahu untuk 6 pertanyaan. Imam Syafi’I dan bahkan para sahabat banyak yang tidak mendapat menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka menurut al-Gazali.
Dengan demikian, ijtihad dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi diolah dan diputuskan berdasarkan pertimbangan sehat dari mujtahid yang bersangkutan.
Adapun metode ijtihad al-Gazali dalam menetapkan hukum syara adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma dan dalil nalar (istishhab). Hal ini sesuai dengan yang disebutkan al-Gazali dalam kitabnya al-mustashfa sebagai berikut;
1. Al-Qur’an dan Sunnah
Menurut al-Gazali, sumber hukum syara hanya satu, yaitu firman-firman Allah yang termuat dalam al-Quran karena sabda nabi pada hakikatnya juga berasal dari al-Qur’an yang bersifat bayan (penjelasan) Nabi saw terhadap al-Qur’an. Sedang ijma sahabat merupakan hasil pemahaman mereka dari Sunnah; sedang Sunnah Nabi saw berasal dari firman-firman Allah (al-Qur’an) juga. Adapun nalar (aql) adalah sesuatu yang tidak tersebut dalam nas-nas hukum syara, yang lahir sebagai hasil penalaran sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir, namun tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah[11].
Al-Gazali menempatkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena sunnah Nabi pada hakekatnya bersifat bayan terhadap al-Qur’an, kecuali (sunnah) hadis âhad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Qur’an. Pada realisasinya al-Gazali menempuh cara menggunakan al-Qur’an dan hadis mutawatir[12]. Apabila tidak ditemukan dalam hadis tersebut, ia menggunakan hadis ahad. Apabila tidak ditemukan pada ketiganya maka al-Gazali akan mencari dari pendapat sahabat.Jika ditemukan ada ijma dari para sahabat tentang apa yang dicarinya maka hukum itulah yang dipakainnya[13].
Meskipun al-Gazali berhujjah dengan hadis âhad, namun ia tidak menempatkannya sejajar dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir, karena hanya al-Qur’an dan hadis mutawatir itulah yang qath’I al-wurud. Dalam pemakaian hadis âhad al-Gazali mensyaratkan sebagai berikut : a) Perawinya terpercaya, b) Perawinya berakal, c) Perawinya dhabith (kuat ingatannya), d) Perawinya benar-benar mendengar hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya, e) perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu[14].
Al-Gazali berpendapat bahwa nasakh antar dalil seperti antara ayat dengan ayat al-Qur’an itu ada. Selanjutnya ia berpendapat bahwa as-Sunnah dapat dinasakh dengan al-Qur’an. Ia mengambil contoh dalam al-Qur’an disebutkan فالان باشروهن (maka sekarang kalian boleh menggauli istri di malam Ramadhan).Ayat ini menasakh hukum tentang larangan menggauli di malam hari ramadhan.Hukum larangan menggauli ini tidak dimuat dalam al-quran tetapi dalam as-Sunnah.Sebaliknya ayat al-Qur’an dapat dinasakh oleh as-Sunnah karena pada dasarnya keduanya adalah wahyu yang berasal dari Allah melalui lisan Nabi-Nya.
Meskipun al-Gazali amat terikat dengan wahyu, ia tidak mengabaikan peranan akal sama sekali. Karena ia menyadari bahwa persoalan hukum itu bertambah terus, sementara teks wahyu tidak mungkin bertambah.Karena itu ia berpendapat apabila sebuah kasus tidak ditunjuk oleh nas, maka qiyas dapat digunakan. Inti qiyas mensejajarkan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas. Titik kesamaan disebut ‘illat. Al-Gazali tidak mau menjadikan hikma sebagai ‘illat. Ia hanya mau menetapkan hukum berdasarkan ‘illat. Ini berbeda dengan aliran kufah yang selalu mencari rahasia dibalik ketetapan hukum, mereka menetapkan hukum terkadang dengan hikmah. Sebab terkadang suatu ketetapan hukum dibuat berdasarkan hikmah.
2. Ijma
Al-Gazali menegaskan bahwa ijma adalah hujjah dan ia menempatkannya sesudah al-Qur’an dan Sunnah sebelum al-aql dan al-istishab[15]. Al-Gazali menyimpulkan ada dua unsur pokok ijma, yaitu adanya kesepakatan segenap mujtahid dari kalangan umat Islam, dari segenap penjuru dunia Islam, tidak boleh tertinggal seorang mujtahid pun dalam kesepakatan tersebut dan terjadinya kesepakatan tersebut adalah dalam suatu masa sesudah meninggalnya Nabi saw, yang menyangkut segenap permasalahan dalam masyarakat[16].
3. Istishâb
Al-Gazali, mengemukakan bahwa istishâb adalah apa yang telah ditetapkan (hukumnya) pada masa lalu, yang telah ditetapkan hukumnya pada datang selama belum didapati suatu dalil yang dapat mengubah hukum tersebut. Al-Gazali sebagai pengikut mazhab syafi’I berhujjah dengan istishhab dan membaginya dalam empat macam, yaitu a) istishâb al-khashsah, b) istishâb al-amm, c) istishâb al-nash, d) istishâb al-ijma. Tiga dari yang pertama dibolehkan, dan yang terakhir tidak dibenarkan karena tidak ada dalil yang menguatkannya. Sedang akal dimaksudkan adalah hukum yang diberlakukan sebelum datangnya syari’at. Menurut al-Gazali hukum lama tersebut sudah dihapus dengan sendirinya oleh hukum Islam, kecuali mengenai hal-hal yang oleh syari’at sendiri menyatakan secara tegas akan berlakunya.
Menurut al-Gazali, Hukum agama itu harus diambil dari ajaran wahyu, bukan produk akal manusia. Agaknya ini merupakan antisipasi teologis dari sebuah adagium bahwa akal termasuk sumber syari’at yang dikembangkan kaum mu’tazilah.Dalam faham mu’tazilah karena manusia diberi akal oleh Tuhan, dengan akal ia dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya diakhirat kelak. Konsekwensinya, orang yang tidak kesampaian dakwah juga akan dihisab dengan standar akal.
Al-Gazali menganut faham bahwa wahyu hanya mempunyai fungsi informatif belaka terhadap akal. Ia berpendapat bahwa baik dan buruk itu tidak permanen melekat pada sesuatu. Nilai baik dan buruk itu nisbi.Sesuatu dikatakan baik bila ia terjadi sesuai dengan selera, maksud dan pelakunya.Dikatakan buruk bila yang sebaliknya. Membunuh itu baik karena pelakunya menghendaki hal itu terjadi. Sementara bagi korban dan keluarganya, membunuh tadi buruk karena merugikan mereka. Untuk mengetahui baik dan buruk yang sebenarnya harus kembali kepada wahyu. Apa yang dikatakan wahyu itu baik maka baiklah ia, kendati akal mengatakan itu buruk. Demikian pula sebaliknya apa yang dikatakan buruk oleh wahyu, sedangkan menurut akal itu baik, maka sebenarnya ia buruk. Demikian juga kriteria tentang benar dan salah. Maka tanpa wahyu manusia tidak dapat menentukan baik dan buruk serta benar dan salah[17].
Adanya keragaman pemikiran yang melanda umat Islam sehingga al-Gazali bersikeras dengan pendapatnya tersebut. Menurutnya, metode berpikir bebas Yunani telah merasuk dalam pola berpikir intelektual muslim di bidang kalam dan filsafat, imbasnya kepada pemikiran fiqhi. Ia melihat corak intelektual semacam itu berbahaya bagi substansi ajaran Islam. Setelah mendalami Islam dengan kaca mata tradisi Islam dan keterbatasan akan kemampuan akal, al-Gazali menolak berpikir Mu’tazili[18].
4. Mashlahat
Berkaitan teori maslahat al-Gazali berpendapat sebagai berikut: al- ma£lahah pada dasarnya adalah suatu gambaran dari mendatangkan manfaat (jalb al-Manâfi) atau menghindarkan kerusakan (daf’u al-mafâsid). Lebih lanjut menegaskan; al-maslahah adalah memelihara tujuan syara (al-muhafazhah al-maqasid al-syar’iyyah), al-maslahah adalah meraih manfaat dan menghindarkan bahaya dalam rangka memelihara tujuan syara’ yang meliputi lima hal, yaitu agama, jiwa, keturunan dan harta[19]. Beliau juga menyatakan : semua yang mengandung pemeliharaan tujuan syara yang lima ini maka ia merupakan maslahah dan semua yang mengabaikan tujuan ini maka ia merupakan mafsadat. Sedangkan menolak sesuatu yang mengabaikan tujuan syara itu justru merupakan suatu al-Maslahah[20].
Dalam sumber hukum, menurut al-Gazali bahwa al-munasib (al- ma£lahah) tidak dapat dijadikan pertimbangan keputusan hukum dalam wilayah tahsini atau takmili kecuali ada penyaksian dari dalil, sementara di dalam wilayah al- ma£lahah ad-èaruriyah nampaknya cenderung menerimanya sebagai pertimbangan hukum. Sedangkan dalam ma£lahah al-hajiyah tidak memiliki pendirian yang jelas. Di samping itu al-Gazali memberikan syarat yang lain yaitu bilamana maslahah dimaksud adalah ma£lahah qat’iyah dan kulliyah[21].
Al-Gazali menggunakan pertimbangan ma£lahah hanya sepanjang pertimbangan memelihara kepentingan sosial atau mencegah kesulitan sosial itu dipandang masih sejalan dengan tujuan-tujuan syari’at secara umum (maqa£id syari’at) sebagaimana yang terkandung dalam nas-nas secara keseluruhan, bukan yang hanya spesifik ada dalam lingkup hukum muamalah saja. Tujuan-tujuan syari’at yang dimaksud meliputi penjagaan pada lima pilar kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan demikian pemeliharaan kepentingan sosial akan dianggap memenuhi kriteria maslahah apabila bersama itu ada penjagaan pada keselamatan lima faktor. Di samping itu al-Gazali juga menekankan agar ma£lahah senantiasa tidak bertentangan dengan pemahaman pengertian nash yang jelas maknanya.
Al-Gazali membuat tiga syarat untuk maslahat agar dapat dijadikan sebagai hujjah mu’tabarah (yang diakui) sebagaimana yang dikutip dari Mustafa al-Zarqa yaitu:
1.Maslahat tersebut harus daruriyat (primer). Al-Gazali membagi maslahat menjadi tiga bagian, yaitu: darûriyat,hâjiyat dan tahsiniyat.
2. Maslahat tersebut harus qat’i. Maslahat itu pasti dapat menyampaikan kepada tujuan-tujuan syara yang daruriyat.
3. Maslahat harus kulliyat (umum). Maksudnya dapat menolak kemudaratan sejumlah kaum muslimin bukan perorangan[22].
Maslahat yang memenuhi ketiga syarat tersebut dapat dijadikan hujjah yang cukup untuk menetapkan hukum, meskipun tidak didukung oleh dalil syara yang tertentu.Al-Gazali telah membuat sebuah contoh maslahat yang memenuhi syarat tersebut yang populer dengan masalah at-tatarrus atau at-turas yaitu jika musuh menyerang kaum muslimin dengan cara membentengi dirinya dengan tawanan muslim agar kaum muslimin tidak menyerang mereka karena khawatir terhadap tawanan yang muslim tersebut. Menurut al-Gazali, menyerang musuh (meskipun harus membunuh tawanan yang muslim, agar kaum muslim tidak menyerang mereka karena khawatir terhadap tawanan yang muslim tersebut. Menurut al-Gazali, menyerang musuh (meskipun harus membunuh tawanan muslim tersebut) dalam kondisi begini adalah sebuah kemaslahatan yang daruriyat, qathiyat, dan kulliyat. Tindakan ini wajib dilakukan meskipun harus membunuh tawanan muslim tersebut yang terpelihara darahnya) dalam kondisi begini adalah sebuah kemaslahatan yang ma£lahah qat’iyah dan kulliyah. [23]. Adapun masalah-masalah yang hanya menempati posisi hajiyat dan tahsiniyat, maka tidak boleh menetapkan hukum tentangnya hanya dengan berpegang kepada maslahat yang tidak didukung oleh dalil syara. Apabila maslahat tersebut didukung oleh dalil syara, maka itu adalah qiyas.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-Gazali lahir di desa Gazalah.Ia berasal dari keluarga yang religius dan hidup sederhana.Ia dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuhnya yaitu Ahmad bin Muhammad ar-Razikani at-Tusi ahli tasawwuf dan fiqhi dari Tus.Setelah mempelajari dasar-dasar fikih di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan.Ia juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu imam Yusuf an-Nassaj al-Farmasi at-Tusi, ia juga belajar hadis pada banyak ulama hadis, seperti Abu Sahal Muhammad Abdullah bin Ahmad. Dari sekian banyak guru dan pengetahuan yang diterima al-Gazali, dapat dipahami ia seorang pemuda yang tekun dan memiliki minat yang besar terhadap ilmu. Ia berusaha mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak.Selain itu ia mahir berbicara dan produktif dalam menulis.
2. Metode ijtihad al-Gazali dalam menetapkan hukum syara adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma dan dalil nalar (istishhab).
Al-Gazali menempatkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena Sunnah Nabi pada hakekatnya bersifat bayan terhadap al-Qur’an, kecuali hadis âhad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Qur’an. Pada realisasinya al-Gazali menempuh cara; apabila dalam al-Qur’an dan hadis mutawatir, tidak ditemukan dalil yang masalah yang dikaji maka, ia menggunakan hadis ahad. Apabila tidak ditemukan pada ketiganya maka al-Gazali akan mencari dari pendapat sahabat.Jika ditemukan ada ijma dari para sahabat tentang apa yang dicarinya maka hukum itulah yang dipakainnya
Al-Gazali berhujjah dengan istishhab dan membaginya dalam empat macam, yaitu a) istishâb al-khashsah, b) istishâb al-amm, c) istishâb al-nash, d) istishâb al-ijma. Tiga dari yang pertama dibolehkan, dan yang terakhir tidak dibenarkan karena tidak ada dalil yang menguatkannya. Menurut al-Gazali bahwa al-munasib (al-Maslahah) tidak dapat dijadikan pertimbangan keputusan hukum dalam wilayah tahsini atau takmili kecuali ada penyaksian dari dalil, sementara di dalam wilayah al-maslahah ad-èaruriyah nampaknya cenderung menerimanya sebagai pertimbangan hukum




DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan ijtihad Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002
Hadis riwayat Ahmad dari Umar bin Khattab, Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autar Juz IV; Kairo: Dar al-Fikr, t.th.
H. Minhajuddin, Pengembangan MetodeIjtihad Dalam Perspektif Fikih Islam, disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, IAIN Alauddin Makassar, 31 Mei 2004.
Abd Aziz Dahlan, (ed), Esiklopedi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Abû Hamid bin Muhammad bin Muhammad binMuhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fi ‘ilmi ‘ilmi ‘l-Ushul, Jilid II Bairut: Dâr Ihyâ at-Turats al-Arabi, reprint dari cetakan Mesir 1324 H.
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibiy, I’tisham, Jilid II Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th.
Mushtafa Ahmad al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqhi, (Jakarta: Riora cipta, 2000.


[2] Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan ijtihad (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 5
[3] Hadis riwayat Ahmad dari Umar bin Khattab, Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autar (Juz IV; Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), h. 272
[4] Lihat H. Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad Dalam Perspektif Fikih Islam (disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, IAIN Alauddin Makassar, 31 Mei 2004), h. 9.
[5] Nama lengkapnya adalah Âbu Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Tûsi al-Gazâliy, Abd Aziz Dahlan, (ed), Esiklopedi Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 404.
[6] Ibid.
[7] Abû Hamid bin Muhammad bin Muhammad binMuhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fi ‘ilmi ‘ilmi ‘l-Ushul. Jilid II (Bairut: Dâr Ihyâ at-Turats al-Arabi, reprint dari cetakan Mesir 1324 H), h.350.
[8] Ibid., h.354
[9] Ibid., h.356-358
[10] Ibid., h.350-351,354.
[11] Muhammad al-Gazali, Op.cit., h. 100
[12] Ibid., h. 101
[13] Ibid., h. 129
[14] Ibid., h. 155-165
[15] Ibid, h. 173
[16] Ibid.
[17] Abd Aziz Dahlan, Op.Cit., h. 404.
[18] Ibid.
[19] Ibid, h.286
[20] Ibid, h.287
[21] Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibiy, I’tisham, Jilid II (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th), h. 111-112.
[22] Mushtafa Ahmad al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqhi, (Jakarta: Riora cipta, 2000) h. 73-74
[23] Ibid., h.76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar