Senin, 02 Maret 2009

Konflik dan ketegangan dalam hukum Islam

KONFLIK DAN KETEGANGAN DALAM HUKUM ISLAM:
Antara Idealisme dan Realisme
Oleh Rahmawati

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu fenomena yang menarik dan dapat dengan mudah terlihat dalam hukum Islam adalah adanya beberapa konsep yang berpasang-pasangan, misalnya konsep tentang zahir dan batin, muhkamat dan mutasyabihat, qat’i dan zanni, akal dan wahyu, serta idealis dan realis dan sebagainya. Persoalannya yang mungkin timbul adalah bagaimana memahami dan mendudukkan konsep-konsep tersebut secara proporsional. Sebab, mungkin ada pihak yang melihat secara dikotomis fenomena konsep yang berpasang-pasangan tersebut. Apakah kita dapat berkata bahwa tidak ada dikotomi di antara konsep-konsep yang berpasangan itu. Suatu hal patut dicermati ialah apa yang telah dilakukan oleh Noel J. Coulson dalam bukunya Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, yang pada mulanya merupakan bahan-bahan kuliah berserinya di Chicago University, Amerika Serikat.
Dalam pendahuluan tulisannya itu, Coulson terlebih dahulu berbicara tentang konflik dan ketegangan yurisprudensi Barat yang pada pokoknya merupakan produk dari berbagai macam filsafat hidup dan ideologi politik yang telah menemukan polanya dalam peradaban Barat, dan berbeda pandang tentang nilai-nilai tertinggi dan tujuan hidup manusia. Tetapi pertanyaan fundamental tentang hukum Islam, kata dia, dijawab untuk yurisprudensi Islam, dalam arti yang tidak ada kompromi, menurut keyakinan agama itu sendiri. Hukum adalah sistem tentang perintah-perintah Tuhan yang ditentukan secara ketuhanan. Menolak prinsip ini pada dasarnya berarti meninggalkan keimanan dalam Islam.[1]
Selanjutnya, Coulson memberi pengertian yurisprudensi Islam sebagai keseluruhan proses aktivitas intelektual yang memastikan dan menemukan istilah kehendak Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam suatu sistem hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanakan. Dan di dalam inilah terdapat istilah-istilah referensi yang ketat dan menimbulkan konflik dan ketegangan.[2] Jadi, Coulson melihat munculnya konflik dan ketegangan dalam hukum Islam pada apa yang dia pahami sebagai upaya untuk memahami kehendak Tuhan yang dilakukan oleh para ulama Islam. Dan oleh Coulson, konflik itu dikatakan bermula dari konflik antara wahyu dan akal, kemudian merembet kepada persoalan kestuan dan keragaman, otoritas dan kebebasan, idealisme dan realisme, hukum dan moralitas, serta stabilitas dan perubahan.[3]
Akan tetapi, di tempat lain, coulson mengatakan bahwa memang hubungan masing-masing kutub tersebut tampak berbeda, dan bahkan bertentangan. Namun jika dicermati akan dapat dipahami bahwa masing-masing secara simbolis saling berhubungan dan bersifat komplementer, dan bukan saling bertentangan.[4]
Bertolak dari pandangan coulson yang berbeda tersebut, di satu tempat ia mengatakan adanya konflik dan ketegangan dalam hukum Islam , tetapi di tempat lain ia mengatakan bahwa pertentangan itu tidak ada karena masing-masing berhubungan secara simbolis dan bersifat komplementer, maka menarik untuk dibahas bagaimana sebenarnya hakekat hukum Islam dalam hubungannya dengan idealisme dan realisme, apakah ada atau tidak ada konflik dan ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam, dan kalau ada bagaimana menyelesaikan konflik dan ketegangan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka masalah yang perlu dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana konflik dan ketegangan dalam hukum Islam antara realisme dan idealisme dengan sub masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konflik dan Ketegangan Antara Idealisme dan Realisme dalam Hukum Islam?
b. Bagaimana upaya penanggulangan konflik dan ketegangan dalam hukum Islam?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa Inggris Conflict yang memiliki arti percekcokan, konflik, perselisihan, pertentangan[5]. Dari pengertian ini tampak bahwa konflik adalah pertentangan yang melibatkan dua pihak atau dua hal karena saling berbeda atau karena disebabkan perbedaan pandangan.
Menurut Masdar farid Mas’udi, konflik dapat dibagi menjadi dua, konflik horisontal dan vertikal. Konflik horisontal yaitu konflik antara agama, etnis, dan sebagainya. Sedangkan konflik vertikal biasanya terjadi antara pihak yang dieksploitir, antara penguasa dan dikuasai. Khusus konflik jenis yang pertama cenderung berdampak negatif. Sedangkan konflik jenis kedua tidak selamanya berdampak negatif, bahkan terkadang diperlukan untuk sebuah perubahan. Hanya saja harus disertai mekanisme supaya tidak menimbulkan dampak penghancuran[6].
Dalam hal ini harus diperbolehkan dengan baik, agar tidak sampai melibatkan aksi-aksi kekerasan. Konflik ini harus dikelola dalam bentuk yang lebih beradab. Konflik harus dibatasi pada perbedaan kepentingan yang kemudian diartikulasikan dalam perdebatan wacana. Konflik sendiri memang tidak bisa dihindari dalam kehidupan manusia, karena dapat menjadi energi perubahan. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik ditinjau dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Sedangkan jika ditinjau dari situasinya, menurut Coser, konflik terdiri dari konflik yang realitis dan konflik yang tidak realitis. Konflik yang realitis berasal dari kekecewaan terhadap tuntunan-tuntunan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan dan keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukkan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik yang tidak realitis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak[7].
Berkaitan dengan judul makalah yang dipaparkan dari pengertian konflik tersebut menunjuk kepada konflik sosial. Tetapi yang dimaksudkan dalam makalah ini pengertian konflik yang dimaksudkan adalah konflik atau pertentangan antara realisme dan idealisme yang terdapat dalam hukum Islam yang seharusnya atau yang dicita-citakan dengan hukum yang senyatanya.

B. Ketegangan Antara Idealisme dan Realisme dalam Hukum Islam
Menurut Coulson fuqaha pada masa awal dalam mazhab hukum merupakan orang-orang yang berpandangan praktis. Ia menegaskan bahwa dengan perdebatan yurisprudensi yang dimulai pada awal abad ke delapan dan akhirnya menghasilkan teori tentang sumber-sumber hukum, menimbulkan pengertian bahwa syari’ah merupakan sistem perintah-perintah Tuhan yang menyeluruh dan ditetapkan lebih dulu, suatu sistem hukum yang memiliki eksistensi independen dari masyarakat tidak timbul dari masyarakat tetapi diturunkan kepada masyarakat. Penemuan hukum murni, begitu yang dirasakan, merupakan tugas yang paling baik yang dilakukan secara terpisah dari praktek. Kemudian yurisprudensi Islam secara esensial menjadi ilmu instrokpeksi yang membicarakan perluasan hukum syari’ah murni secara abstrak dan suka meninggalkan urusan duniawi bagi pelaksanaan ajaran yang dijelaskan kepada pejabat negara.Idealisme fuqaha pada abad ini yang mengadopsi tugas penasehat spiritual bagi penyadaran Islam dari para pelaksana praktis urusan-urusan itu, menciptakan suatu perbedaan yang nyata antara dokrin hukum dan praktek hukum maupun antar tugas fuqaha maupun tugas hakim. Karena itu dalam Islam ada ketegangan khusus antara teori hukum dan realitas sosial[8].
Konsep syari’ah sebagai sistem perintah-perintah Tuhan yang ditentukan lebih dahulu dan sebagai sistem yang tidak tumbuh dari masyarakat tetapi diturunkankepada masyarakat bukanlah karya baru tetapi membentuk dasar-dasar syari’ah sebagai mana diajarkan oleh Nabi dan para sahabat terutama khulafaur Rasyidin yang ortodoks. Syari’ah merupakan hukum Allah dan merupakan suatu standar untuk menentukan tindakan-tindakan manusia yang harus dijaga bentuk idealnya dan tidak ditentukan kenyataan-kenyataan sosial yang tunduk pada perubahan. Realitas sosial yang ditekankan Coulson tidak lain adalah suatu gejala yang berubah sedangkan syari’ah ada sejak lama.Haruskah diubah menurut konsep perubahan realitas? Hukum Allah selamanya harus tidak berubah sebagai suatu pola yang harus diikuti apa adanya sesuai dengan QS.7:3.
Coulson sepertinya ingin menguji sejauh mana doktrin murni dapat diterjemahkan dalam praktek riil yang ada di masyarakat. Seberapa jauh realits hukum dalam Islam sesuai dengan sistem ideal syari’ah seperti telah diuraikan secara rinci oleh para ahli hukum. Yang harus dipertimbangkan dalam penerapan hukum Islam adalah bagaimana para ahli hukum memvisualisasikan hukum syari’ah tersebut agar bisa dijalankan. Pola apa yang diajukan oleh para ahli hukum berkenaan dengan konstitusi pengadilan, prosedur peraturan-peraturan dan bukti yang seharusnya mereka ikuti dalam memutuskan hukuman[9].
Contoh yang dikemukakan Coulson adalah Pembuktian perbuatan zina yang mengharuskan ada 4 orang saksi yang memenuhi syarat, laki-laki, dewasa, dan sangat dibutuhkan saksi yang melihat dengan mata kepala mereka sendiri perbuatan jasmaniah para pelaku tersebut. Tetapi dalam praktek dan khususnya dalam lapangan hukum pidana secara umum, peraturan kesaksian meletakan suatu beban yang tidak realistik terhadap proses-proses perbuatan tersebut.Dan ini merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tertuduh, yang kesalahannya layak pasti namun belum ditetapkan pembuktian hukum yang diwajibkan, menolak untuk mengucap sumpah pengingkaran ketika ditawarkan kepada mereka.
Contoh lain yang dikemukakan Coulson adalah penuntutan dalam kasus pembunuhan agar dapat mengajukan 2 orang saksi yang memenuhi syarat untuk memberi kesaksian, bahwa mereka mendengar suara perlawanan yang keras dalam rumah, mereka melihat terdakwa muncul dari dalam rumah, dengan pisau berlumuran darah ditangannya dan rumah itu kosong kecuali jasad korban. Namun doktrin syari’ah melarang hakim untuk menarik kesimpulan dari fakta ini bahwa terdakwa adalah seorang pembunuh. Bukti seperti ini merupakan istilah dari kecurigaaan. Ini dapat menghasilkan kepastian terdakwa bersalah jika didukung oleh sumpah 50 orang penguat yang dilakukan oleh famili korban dan mengucapkan sumpah kesalahan terdakwa atau sebaliknya[10].
Dalam kasus-kasus kesaksian yang bertentangan tersebut nampak bahwa idealisme doktrin sangat jelas. Jika qadi merasa tidak dapat menghadirkan keputusan yang benar berdasar bukti-bukti yang disodorkan, ia diijinkan untuk tidak memberi suara dalam keputusan. “Jika tidak ada indikasi positif yang nampak dihadapannya,” tulis seorang ahli hukum , “lalu biarkan dia meninggalkan kasus itu dan menghentikan keputusan, karena ada keraguan dalam hatinya.
Ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam secara sederhana dapat diungkapkan dalam adanya perbedaan antara doktrin hukum dan praktek hukum. Demikianlah gambaran Coulson.Kritikan beliau tersebut juga telah mendapatkan tanggapan dari kaum intelektual Islam
Intelektual Islam yang cukup gencar dalam menanggapi pandangan Coulson tersebut adalah Muslehuddin. Muslehuddin menganggap bahwa Coulson telah bertindak salah dalam menilai hukum Islam. Coulson hanya melihat hukum pada pendapat-pendapat hakim.Rupanya dia melakukan ini dengan sengaja atau sebagai akibat ketidak tahuannya tentang hukum. Dia berusaha menunjukan bahwa hukum Islam tidak realistis dan susah diterapkan, padahal hukum Islam merupakan hukum yang paling lengkap dan sempurna.[11]
Ahmad Rafiq dalam menanngapi bantahan Muslehuddin tersebut, menilai bahwa diskusi muslehuddin menanggapi pemikiran Coulson tersebut menunjukan bahwa ia termasukpemikir yang menonjol sikap apologetiknya. Menurutnya, bagaimanapun usaha Coulson yang mencoba mereduksi hukum Islam kedalam tingkatan murni yurisprudensi, yang karenanya akan senantiasa mengalami perubahan, sumbangan pemikirannya patut dipertimbangkan. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa hukum Islam sebagai aktivitas penalaran manusia, dilaksanakan dalam rangka memformulasikan nilai-nilai dan norma-norma syari’ah menjadi aktual dalam masyarakat.

C. Upaya Penanggulangan konflik dan ketegangan dalam hukum Islam
Konflik dan ketegangan yang dikemukakan Coulson dalam sejarah hukum Islam, telah terjadi sewaktu terbentuknya code Napoleon. Pada masa itu, Code Napoleon dinilai sebagai karya agung yang dianggap mampu mengakomodir semua kasus-kasus hukum ketika itu. Olehnya itu, hakim masa itu dianggap hanya sebagai mulut Undang-undang. Kepuasan itu hanya berlangsung sesaat, karena ternyata kemudian dirasakan Code Napoleon itu banyak kekurangannya ketika berhadapan dengankasus-kasus konkrit di pengadilan. Pada waktu itu disadari bahwa tidak mungkin hanya menerapkan begitu saja pasal-pasal yang baku dan statis pada kasus-kasus manusiadalam masyarakat yang bergerak dinamis.[12]
Upaya penanggulangan konflik tersebut, ditempuhlah upaya-upaya mendekatkan hukum ideal kepada realitas. Dipakailah penafsiran dengan macam-macam istilah seperti pengahalusan hukum, penemuan hukum dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi rasa kepuasa dan rasa keadilan.Konflik dan ketegangan antara ideal hukum dan pelaksanaanya dalam masyarakat berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut karena kenyataan selalu adanya perubahan dalam masyarakat, lebih-lebih diera globalisasi sekarang ini[13].
Kesenjangan antara idealitas dan realitas dalam hukum Islam misalnya yang sering diangkat dalam masalah yang terkait dengan keudukan perempuan. Selama ini sebagian masyarakat muslim menilai bahwa terkesan ada ketidak sesuaian antara cita-cita Islam untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dengan kenyatan yang dihadapi oleh kaum muslimah diberbagai negeri Islam.
Adanya realitas tersebut dan juga pada berbagai bidang kehidupan lainnya, telah mendorong dicetuskannya ide-ide pembaharuan oleh beberapa kalangan pemikir Islam. Seperti diketahui, sekitar dua abad terakhir ini, dikalangan umat Islam muncul gerakan-gerakan pembaruan pada berbagai lapangan dan bidang kehidupan.
Gerakan-gerakan tersebut merupakan hasil refleksi kesadaran umat terhadapkebekuan dan kejumudan sejarah Islam selama beberapa abad lamanya yang dengan sendirinya menimbulkan kegelisahan intelektual di kalangan generasi muda Islam. Maka bermunculanlah tokoh-tokoh maupun kelompok cendekiawan Islam yang berusaha mendobrak kebekuan sejarah dan mencita-citakan terwujudnya relevansi antara Islam dan pemikiran abad modern. Mereka menggagas kebangkitan Islam dengan menawarkan ide-ide mengenai reformasi pemikiran Islam.[14]
Dalam bidang hukum, upaya pemnaharuan dilakukan akibat munculnya kesenjangan antara materi hukum, seperti fiqih, dengan kenyataan sosial.Sasaran utama dari upaya ini ini adalah gugatan perlunya rujukan fikih pada sumber-sumbernya dengan komitmen menghilangkan otoritas yang berlebihan terhadap ulama-ulama abad pertengahan.[15] Melalui sarana ijtihad, pengembangan materi-materi hukum Islam dapat dilakukan untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan diberbagai daerah dan kenyataan-kenyataan sejarah yang senantiasa berubah. Berarti, berupaya memunculkan ide-ide baru dalam rangka menyikapi perkembangan zaman.
Jelaslah, upaya pembaharuan hukum Islam antara lain ditandai dengan upaya peninjauan ulang terhadap materi-materi fikih yang didasarkan atas penafsiran kembali terhadap nash. Hal ini dilakukan karena mengingat hasil penafsiran ulama-ulam terdahulu sangat kental dengan kondisi zamannya yang sudah tentu berbeda dengan kondisi masa kini.Jadi, pembaruan diperlukan untuk pengaktualisasian ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan aturan-aturan hukum sebagaimana terkandung dalam nash. Dalam hal ini, tidak berarti merubah atau meninggalkan nash-nash al-Qur’an atau hadis Nabi, namun sekedar memperbarui interpretasi terhadap nash-nash tersebut agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam memahami hukum Islam ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu :
Pertama, bahwa hukum Islam berdimensi ilahiyah karena diyakini sebagai ajaran yang bersumber dari yang maha suci, maha sempurna dan maha Benar. Dalam dimensi ini, hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran suci karena bersumber dari Yang Maha Suci, Maha Sempurna dan Maha Benar. Dalam dimensi ini hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran suci karena bersumber dari Yang Maha Suci an sakralitasnya senantiasa dijaga. Dalam pengertian seperti ini, hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang cakupannya sangat luas, tidak hanya terbatas dalam artian terminologi. Kedua, Hukum Islam berdimensi insaniyah. Dalam dimensi ini, hukum Islammerupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami ajaran yang dinilai suci dengan melakukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqashid .Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai produk pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal dengan sebutan ijtihad atau pada tingkat yang lebih tehnis disebut istinbat al-ahkam[16].
Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pengembangan melalui berbagai metode dan pendekatan yang senantiasa berpatokan pada nilai-nilai kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum Islam dalam rangka menjadikan hukum Islam agar dapat terus aktual dalam kehidupan umat Islam. Karena hukum sebagai refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai pranatadalam kehidupan masyarakat, berarti muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang bersifat kekinian,melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial,ekonomi, dan politik di masa depan. Pemikiran ini menunjukan bahwa hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mewujudkan cita-citanya[17].
Dalam rangka mengembangkan pemikiran dan studi hukum Islam dalam kehiduan masyarakat yang akan datang, sudah saatnya para pakar hukum Islam mempertimbangkan studi dan pemikiran hukum Islam dalam kerangka sosiologi dan pendekatan sejarah sosial. Artinya studi dan pemikiran hukum Islam mempelajari faktor-faktor sosial, politik dan kulturalyang melatar belakangi lahirnya suatu produk pemikiran hukum Islam dan dampaknya terhadap masyarakat. Serta adanya interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Karena itu, jika hukum Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap berbagai persoalan umat yang muncul karena perubahan zaman, maka hukum Islam tersebut harus dilakukan pembaruan untuk disesuaikan dengan perkembangan yang ada.
III. PENUTUP
1. Konflik memiliki arti percekcokan, konflik, perselisihan, pertentangan. Dari pengertian ini tampak bahwa konflik adalah pertentangan yang melibatkan dua pihak atau dua hal karena saling berbeda atau karena disebabkan perbedaan pandangan. Ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam secara sederhana dapat diungkapkan dalam adanya perbedaan antara doktrin hukum dan praktek hukum
2. Upaya penanggulangan konflik tersebut, ditempuhlah upaya-upaya mendekatkan hukum ideal kepada realitas. Dipakailah penafsiran dengan macam-macam istilah seperti pengahalusan hukum, penemuan hukum dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi rasa kepuasa dan rasa keadilan.Konflik dan ketegangan antara ideal hukum dan pelaksanaanya dalam masyarakat berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut sampai sekarang, dan akan terus berlanjut karena kenyataan selalu adanya perubahan dalam masyarakat, lebih-lebih diera globalisasi sekarang ini





DAFTAR PUSTAKA
A Comparative Study Of Islamic Legal System (Lahore : Ashraq Mirza, Mg. Director, Islamic Publication Ltd. t.th
Coulson, Conflic and tension in Islamic Yurisprudence Edo Segara, Noel J. Coulson: Idealisme dan realisme (4), diposting pada Sunday, 6 April 2008. Diakses pada tgl 13 Mei 2008.
David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American language, The World Pblishing Company, Cleveland and New York, 1959
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam indonesia (Ed. I, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia (Jakarta ; PT. Rajagrafindo Persada, 2006
Juhaya S. Praja, “Kata pengantar dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam:Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia (Cet.I, Bandung: Pustaka Setia,2007
Margaret M.Poloma, Contemporery Sociological Theory,Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasoama dengan judul Sosiologi Kontenporer, (Ed.I, Cet IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000
Masdar Farid Mas’udi, Agama dalam Konflik Sosial, dalam M.Imdadun Rahmat (edit),Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas,Jakarta:Erlangga, 2003
Muhammad Muslehuddin, Philosofy of Islamic Law and the Orientalist
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
[1] Muhammad Muslehuddin, Philosofy of Islamic Law and the Orientalist
A Comparative Study Of Islamic Legal System (Lahore : Ashraq Mirza, Mg. Director, Islamic Publication Ltd. t.th.) h. 191.
[2] Ibid, h. 192
[3] Lihat, Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia (Jakarta ; PT. Rajagrafindo Persada, 2006), h. 233
[4] Ibid, h. 166
[5] David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American language, The World Pblishing Company, Cleveland and New York, 1959
[6] Masdar Farid Mas’udi, Agama dalam Konflik Sosial, dalam M.Imdadun Rahmat (edit),Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas,( Jakarta:Erlangga, 2003), h. 137-138
[7] Margaret M.Poloma, Contemporery Sociological Theory,Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasoama dengan judul Sosiologi Kontenporer, (Ed.I, Cet IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000), h. 110.
[8] Coulson, Conflic and tension in Islamic Yurisprudence h. 60-61
[9] Edo Segara, Noel J. Coulson: Idealisme dan realisme (4), diposting pada Sunday, 6 April 2008. Diakses pada tgl 13 Mei 2008.
[10] Ibid
[11] Muhammad Muslehuddin h. 214.
[12] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam indonesia (Ed. I, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 223
[13] Ibid.
[14] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 157.
[15]
[16] Juhaya S. Praja, “Kata pengantar dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam:Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia (Cet.I, Bandung: Pustaka Setia,2007), h. 5-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar