FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG MAKANAN MINUMAN (STUDI KASUS ‘AJINOMOTO’)
Oleh Rahmawati
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Majelis Ulama Indonesia adalah lembaga yang mewadai ulama, zu’ama, cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina, dan mengayomi, kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri di Jakarta, pada tanggal 7 Rajab 1395 H., bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975[1], sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Mereka adalah wakil provinsi, wakil ormas-ormas Islam, wakil Dinas Rohani Islam dari angkatan bersenjata dan tokoh/ cendikiawan perseorangan.
Ulama Indonesia sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (warast al-anbiya), terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Disisi lain, umat Islam Indonesia tengah menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral. Maksudnya budaya global yang didominasi budaya barat serta pendewaan hawa nafsu dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan manusia[2].
Keberadaan komisi fatwa dan hukum Majelis Ulama Indonesia dipandang sangat penting, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum Islam yang senantiasa muncul dan sangat kompleks, yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia[3]. Jika jawaban persoalan itu telah terkandung dalam al-Qur’an atau Sunnah maupun dalam khazanah klasik, permasalahannya tetap belum selesai, sebab beberapa orang saja mampu menelaahnya.Permasalahan akan semakin kompleks jika mengenainya belum pernah dibicarakan sama sekali.
Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan baik secara I’tiqdi maupun secara syar’i. Oleh karena itu para alim ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan berusaha menghilangkan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan persoalan yang dihadapi.
Salah satu bentuk persoalan sosial kegamaan yang dihadapi adalah penemuan lembaga pengkajian pangan dan obat-obatan tentang produk penyedap rasa yang diproses dengan menggunakan bahan penolong bacto soytone yang mengandung enzim babi.
MUI yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zua’ma dan cendikiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling berkompoten bagi pemecahan dan penjawaban setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta mendapat kepercayaan sepenuhnya untuk menjawab persoalan seperti masalah tersebut baik dari masyarakat maupun pemerintah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan maka, yang menjadi masalah pokok dalam makalah ini adalah Bagaimana pandangan Majelis Ulama Indonesia mengenai makanan dan minuman (studi kasus penyedap rasa Ajinomoto)? Dengan sub masalah sebagai berikut:
Bagaimana proses kerja MUI dalam penetapan hukum yang berkaitan dengan makanan dan minuman?
Bagaimana pernyataan MUI terhadap produk penyedap rasa ( Monosodium Glutamate, MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan Bacto Soytone dan yang menggunakan Mameno?
II. PEMBAHASAN
Proses Kerja MUI dalam Penetapan Hukum yang berkaitan dengan makanan dan minuman.
Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berkompoten dalam pemecahan dan penjawaban setiap masalah sosial keagamaan serta mendapat kepercayaan sepenuhnya untuk menjawab persoalan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat membentuk lembaga LPPOM MUI. Lembaga ini dibentuk MUI atas respon dan tanggung jawab MUI dalam masalah makanan halal. Lembaga ini dibentuk setelah terjadinya kasus tahun 1980-an .
Pada waktu pendirian lembaga ini, MUI mengadakan kerjasama dengan IPB sehingga memiliki kantor di IPB dengan melibatkan banyak staf IPB untuk menjalankan tugas yang diemban. LPPOM MUI memiliki misi membantu konsumen dan produsen dalam memprodukasi dan menyediakan pangan, obat, kosmetika halal. Dalam hal ini MUI juga bekerjasama dengan Depkes dan Depag dalam bentuk ikatan formal.
Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Bahan yang diharamkan oleh Allah adalah bangkai, darah, babi,[4] dengan hewan yang disembeli dengan nama selain Allah. Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik terbentur, jatuh ditanduk, diterkam binatang buas dan yang disembeli untuk berhala[5]. Sedangkan minuman yang diharamkan adalah semua bentuk minuman yang memabukan[6].
Produk-produk yang termasuk kategori halal adalah produk yang diolah menurut ketentuan halal syari’at Islam dengan cara mendapat sertifikat halal dari LP POM MUI.
Sebelum produsen mengajukan sertifkat halal bagi produknya disyaratkan menyiapkan hal-hal sebagai berikut: 1) Suatu sistem mutu (quality sistem) yang dapat menjamin kehalalan produknya. 2) Sistem mutu tersebut didokumentasikan secara jelas dan rinci. 3) Dalam pelaksanaannya, sistem ini diuraikan dalam bentuk panduan mutu (quality manual). 4) Sistem mutu termasuk panduan mutu dan prosedur baku pelaksanaan tersebut dilampirkan pada surat pengajuan sertifikasi halal.5) Pada saat pengajuan sertifikasi halal, produsen harus menandatangani pernyataan kesediaan untuk menerima tim audit dari LP POMMUI dan memberikan contoh produk termasuk bahan baku, bahan penolong, dan bahan tambahan produk untuk pemeriksaan. 6) Pemeriksa audit ke lokasi produsen oleh LP POM MUI segera setelah surat pengajuan sertifikasi halal beserta lampiran-lampirannya memenuhi syarat. 7) Setelah hasil pemeriksaan audit dievaluasi dan memenuhi syarat halal, maka produsen yang bersangkutan selanjutnya akan diproses sertifikat halalnya[7].
Dalam kaitannya dengan makanan (penyedap rasa) dari laporan hasil audit LP.POM MUI dari PT. Ajinomoto Indonesia yang mengajukan sertifikat halal dalam rapat komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, tanggal 10 Jumadil akhir 1421 H / 9 September 2000 M, serta saran dan pendapat seluruh peserta rapat dilaporkan bahwa ditemukan penggantian penggunaan salah satu bahan penolong, poly peptone dengan batco soytome (mengandung enzim babi) dan penggantian tersebut tidak dilaporkan sebelumnya. Hal ini melanggar etika dalam perolehan sertifikat halal.
Kemudian laporan hasi kunjungan (audit) anggota komisi fatwa ke perusahaan PT. Ajinomoto Indonesia yang beralamat di Mojokerto menegaskan antara lain bahwa dalam pembuatan MSG dari PT. Ajinomoto terjadi percampuran (pertemuan, persenyawaan) medium agar-agar , bakteri, dan bacto soytone (yang mengandung enzim babi dalam satu wadah / tempat dan sama-sama basah untuk mengembangbiakan bakteri yang digunakan dalam proses selanjutnya untuk menghasilkan MSG[8].
B. Pernyataan MUI terhadap Produk Penyedap Rasa ( Monosodium Glutamate, MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan Bacto Soytone dan yang menggunakan Mameno
Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat komisi bersama dengan pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LP.POM MUI) pada hari sabtu, tanggal 20 Ramadhan 1421 H/ 16 Desembar 2000 M.
MEMUTUSKAN[9]
Memfatwakan :
Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan bacto soytone dalam proses produksinya adalah haram.
Umat Islam yang karena ketidak tahuan telah mengkomsumsi penyedap rasa (MSG) dimaksud tidak perlu merasa berdosa.
Menghimbau kepada Umat Islam agar berhati-hati dalam mengkomsumsi apapun yang diragukan atau diharamkan oleh agama.
Alasan pengharaman produk ini adalah : 1) Firman Allah swt tentang keharusan mengkomsumsi yang halal dan Baik (QS.al-Baqarah: 168).
2) Firman Allah SWT tentang beberapa jenis makanan (terutama jenis hewan) yang diharamkan (QS. Al-Baqarah (2):173, QS. Al-Maidah (5):3, QS.Al-An’am (6):145, QS. Al-A’raf (7): 157).
3) Hadis-hadis Nabi berkenaan dengan kehalalan maupun keharaman sesuatu yang dikomsumsi antara lain artinya “ wahai umat manusia ! sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib (baik dan halal) dan Allah memerintahkan kepada orang yang beriman segala apa yang ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS.al-Mu’minun (23):51) , dan berfirman pula “ Hai orang yang beriman! Makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu…’ (QS.al-Baqarah (2):172).
Kemudian Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan dan badannya berlumur debu sambil menengadahkan tangan ke langit ia berdo’a “Ya Tuhan- ya Tuhan…’ (Berdo’a dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah). Sedangkan makanan orang itu haram, pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. (Nabi berkomentar jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
4) Nabi saw bersabda berkenaan dengan tikus yang jatuh dan mati dala keju (samin): ان كان جامدا فألقوه وما حولها وكولوه وان كان مائعا فأريقوه
“ jika keju itu keras, buanglah tikus itu dan kaju sekitarnya, dan makanlah sisa keju tersebut: namun jika keju itu cair , tumpakanlah” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Nasa’I dari Maemunah istri Nabi saw).
5) Ijma’ ulama bahwa daging babi dan seluruh bagiannya adalah najis ‘ain (zati).
6)Qaidah fiqhiyah:إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“Manakala bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram”.
اليقين ليزال بالشك (Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan).
7) Sesuai dengan keputusan Fatwa MUI bulan Juni 1980 M tentang keharaman makanan dan minuman yang bercampur dengan barang haram/najis dan keputusan Fatwa MUI bulan September 1994 tentang keharaman memanfaatkan bagi dan seluruh unsur-unsurnya.
Selanjutnya Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LP.POM MUI) pada Senin,tanggal 25 Zulqaidah 1421H/ 19 Pebruari 2002 M.
MEMUTUSKAN
Memfatwakan :
1. Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan Mameno dalam proses produksinya adalah halal
Menghimbau kepada Umat Islam agar berhati-hati dalam mengkomsumsi apapun yang diragukan atau diharamkan oleh agama.
C. Metode Istinbaţ MUI
Pada Dasarnya, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, merupakan pedoman baku dan memadai, cukup sempurna dan transparan yang mengatur mekanisme dan sistem pemberian jawaban masalah keagamaan.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, memiliki dasar-dasar umum dan prosedur tersendiri yang diatur dalam Surat Keputusan Nomor U-596/MUI/X/1997. Dari teks SK tersebut, khususnya yang termaktub pada pasal 2, maka diketahui bahwa setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas al-Qur’an[10], Sunnah[11] (tradisi dan kebiasaan Nabi saw), ijma (kesepakatan pendapat para ulama)[12], qiyâs (penarikan kesimpulan dengan analogi)[13]. Dari sini dapat dipahami bahwa dari berbagai masalah yang memerlukan fat terkait, mka MUI merujuk pada dasar-dasar tersebut, guna menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi umat Islam di Indonesia.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI, adalah terkait dengan masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional.
Fatwa MUI tentang produk penyedap rasa (monosodium Glutamamte, MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan mameno adlah halal sedang yang menggunakan bacto soytone dalam proses produksinya adalah haram[14].
Dapatlah dipahami bahwa MUI dalam menetapka fatwanya melalui mekanisme dan prosedur tersendiri, yakni terlebih dahulu menggelar sidang komisi yang dihadiri oleh ulama, cendekiawan dan pakar-pakar yang berkompoten.
MUI dalam hal ini komisi fatwa melakukan ijtihad dengan memperhatikan kaidah-kaidah perbandingan mazhab manakah yang dalilnya kuat dan ditunjang oleh kemaslahatan. Jika didapatkan pendapat yang demikian, pendapat itulah yang dipilih untuk difatwakan. Jika terdapat suatu pendapat yang dalilnya tidak kuat, namun kemaslahatanya menonjol atau menguntungkan, sedangkan yang lainnya kuat dalilnya namun tidak membawa kemaslahatan, maka permasalahannya diserahkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk memilih pendapat mana yang akan difatwakan[15].
Almarhum Ibrahim hosein, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI 1981 menyatakan pemeliharaan atas dharuriyatul Khams (agama, dsb) sangat diperhatikan MUI setiap mengeluarkan fatwa artinya tiap fatwa MUI diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan yang dimaksud baik yang ukhrawi maupun dunyah , akan tetapi jika terjadi benturan antara maslahat non syari’at dan nash qathiyah (teks yang yang sudah jelas MUI tidak akan menggunakan maslahat, karena kemaslahatan hanya ditetapkan akal. Sedang nash qath’iy adalah wahyu.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa MUI dalam menetapkan fatwanya adalah berdasarkan metode tarjih, yakni memilih pendapat yang paling dominan membawa kemaslahatan bagi masyarakat (masâlih ammah). Jadi setiap masalah yang terjadi khilafiyah dikalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih dengan merujuk dan memperhatikan fikih muqaran yang berhubungan denga pentarjihan tersebut.
Disinilah sisi unggul MUI dalam istinbaţ yang bersifat “lintas mazhab” dan tidak mempunyai keterikatan dengan mazhab fiqhi tertentu, sehingga fatwa yang dikeluarkan MUI mencerminkan keragaman dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
III.PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Bahan yang diharamkan oleh Allah adalah bangkai, darah, babi, dengan hewan yang disembeli dengan nama selain Allah. Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik terbntur, jatuh ditanduk, diterkam binatang buas dan yang disembeli untuk berhala. Sedangkan minuman yang diharamkan adalah semua bentuk minuman yang beralkohol
Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berkompoten dalam pemecahan dan penjawaban setiap masalah sosial keagamaan serta mendapat kepercayaan sepenuhnya untuk menjawab persoalan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat membentuk lembaga LPPOM MUI khususnya dalam menangani makanan dan minuman yang diragukan kehalalannya.
Proses kerja MUI dalam menentukan halal haramya makanan dan minuman disyaratkan menyiapkan hal-hal sebagai berikut: 1) suatu sistem mutu (quality sistem) yang dapat menjamin kehalalan produknya. 2) sistem mutu tersebut didokumentasikan secara jelas dan rinci. 3) Dalam pelaksanaannya, sistem ini diuraikan dalam bentuk panduan mutu (quality manual). 4) Sistem mutu termasuk panduan mutu dan prosedur baku pelaksanaan tersebut dilampirkan pada surat pengajuan sertifikasi halal.5) Pada saat pengajuan sertifikasi halal, produsen harus menandatangani pernyataan kesediaan untuk menerima tim audit dari LP POMMUI dan membeikan contoh prouk termasuk bahan baku, bahan penolong, dan bahan tambahan produk untuk pemeriksaan. 6) Pemeriksa audit ke lokasi produsen oleh LP POM MUI segera setelah surat pengajuan sertifikasi halal beserta lampiran-lampirannya memenuhi syarat. 7) Setelah hasil pemeriksaan audit dievaluasi dan memenuhi syarat halal, maka produsen yang bersangkutan selanjutnya akan diproses sertifikat halalnya.
2. Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan bacto soytone dalam proses produksinya adalah haram.Umat Islam yang karena ketidak tahuan telah mengkomsumsi penyedap rasa (MSG) dimaksud tidak perlu merasa berdosa. Sedangkan. Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan Mameno dalam proses produksinya adalah halal. MUI menghimbau kepada umat Islam agar berhati-hati dalam mengkomsumsi apapun yang diragukan atau diharamkan oleh agama
DAFTAR PUSTAKA
Addurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, Cet;Jakarta: The wahid Institute, 2006.
Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2004.
Hasbi Indra dkk, Halal Haram dalam makanan dan Minuman, Cet. I; Jakarta: Penamadani, 2004
K.H. Ma’ruf Amin, Sambutan Ketua Komisi Fatwa dan Hukum MUI, dalam Departemen Agama RI, Jakarta : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyenggaraan Haji, 2003.
MB Hooker,Islam mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan perubahan Sosial, Cet.II; Jakarta, Teraju, 2003
MUI,Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,(Jakarta: Sekretariat MUI, 1995Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Bayrut: Mansyurat sl-Asr al-Hadis, t.th.
Mustafa al-Siba’I, assunnah wa al muqanatuh fi tasyri’I al-Islami, Kairo: t.p, 1961 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: logos, 1996.
Tempo, Majalah Mingguan, Jakarta, 15 Jakarta 2001.
[1] MB Hooker,Islam mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan perubahan Sosial ( Cet.II; Jakarta, Teraju, 2003), h. 92
[2] Addurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita (cet;Jakarta: The wahid Institute, 2006), h.47.
[3] K.H. Ma’ruf Amin, Sambutan Ketua Komisi Fatwa dan Hukum MUI, dalam Departemen Agama RI, (Jakarta : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyenggaraan Haji, 2003), h.vii
[4] Lihat QS. Al-An’am : 145 , QS. Al-Baqarah : 173, Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan terjemahannya, ( Bandung: Syaamil Cipta Media, 2004), h. 147
[5] Lihat QS. Al-Maidah: 3, Ibid.,h. 107
[6] DR. Hasbi Indra dkk, Halal Haram dalam makanan dan Minuman, (Cet. I; Jakarta: Penamadani, 2004), h.274.
[7] Ibid., h. 274-275
[8] Tempo, Majalah Mingguan, Jakarta, 15 Jakarta 2001, h.
[9] MUI,Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,(Jakarta: Sekretariat MUI, 1995), h.
[10] Secara terminologi al-Qur’an adalah firman-firman Allah berupa mu’jizaat yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw yang telah ditulis dalam Musshaf, dinukil secara mutawatir dan membaca adalah ibadah. Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Bayrut: Mansyurat sl-Asr al-Hadis, t.th)., h. 20
[11] Secara etimologi sunnsh berarti al-tariqah (jalan) al-sirah (sejarah hidup), al-tabi’ah (sifat), al-syari’ah (ket entuan), dan al-hadis (ucapan). Secara terminologi adalah sabda, perbuatan, ketetapan Nabi. Mustafa al-Siba’I, assunnah wa al muqanatuh fi tasyri’I al-Islami, (Kairo: t.p, 1961), h. 58
[12] Kesepakatan sekelompok ahl al-hal wa al-aqdi pada suatu masa tertentu terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa/kasus. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh ( Jakarta: logos, 1996), h. 52
[13] Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’. Ibid., h. 62
[14] Lihat Fatwa MUI
[15] Ma’ruf Amin, Op.cit., h. 5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar